Artikel Utama (2)

Wajib Belajar disela Kemiskinan

Dalam skala besar, lingkup negara, maupun dalam skala kecil, lingkup keluarga, pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi tiap-tiap individu. Untuk itu, pembahasan budget/dana pendidikan dalam dua skala tersebut tidak jauh berbeda. Keluarga yang mau mengurangi jatah sandang-pangan hanya untuk anak-anaknya dapat bersekolah akan sama dengan suatu negara yang sedikit lebih banyak memfokuskan dana anggaran belanjanya di bidang pendidikan. Implikasinya, ketika masyarakat berpendidikan, tentunya kualitas hidup akan meningkat. Sebagai contoh, secara formal orang yang pandai membaca akan lebih berharga ketimbang orang yang buta huruf. Minimal mereka dapat bekerja membaca meter listrik dan melakukan pekerjaan administrasi ketimbang menjadi tukang batu. Demikian pula, lulusan SMA akan lebih dihargai ketimbang lulusan SMP. Intinya, pendidikan seseorang nantinya akan membawa “return” yang membawa kesejahteraan di masa depan. Memang, pendidikan bangsa adalah suatu investasi, bukan sesuatu yang dapat dinikmati seketika. Namun, apabila dihitung secara ekonomi, jelas-jelas pendidikan merupakan nilai investasi yang selayaknya diperhatikan.

Lemahnya Gaung Wajib Belajar

Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun serta telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Dengan program wajib belajar ini diharapkan anak-bangsa penerus generasi dapat memperoleh pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau oleh masyarakat luas. Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pendidikan terlihat nyata dengan adanya Instruksi Presiden No 10 tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar. Maka dahulu pun terkenal dengan banyak berdiri Sekolah-Dasar (SD) Inpres. Puluhan ribu gedung sekolah pun dibangun dengan puluhan ribu guru SD pun diangkat demi pemerataan kesempatan belajar.

Tak dapat dipungkiri, SD Inpres ini mampu memeratakan pendidikan dasar bagi masyarakat desa, dan gemanya tetap bergaung hingga tahun 1984, tahun ketika Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dicanangkan. Namun demikian, rupanya energi pemerintah dalam fokusnya ke bidang pendidikan berkurang, bahkan cenderung melalaikan. Pendidikan dasar pun ternyata tahun demi tahun semakin meningkat biayanya. Keputusan pihak sekolah untuk mengenakan sumbangan “sukarela” pada tiap-tiap penerimaan siswa pun telah menjadi momok bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah. Belum lagi dipicu oleh otonomi daerah, yang akhirnya semakin meroketkan sumbangan-sumbangan dengan dalih pembangunan sekolah dan kesejahteraan guru.

Belum selesai, ketika siswa telah masuk di bangku sekolah, kini pun ada usaha untuk mengikuti “kurikulum berbasis kompetensi”, sehingga sekolah dengan enaknya dapat bekerjasama dengan penerbit untuk menjual buku-buku pelajaran tiap-tiap semesternya. Dahulu, buku pelajaran dapat diwariskan pada adik kelas, kini buku tersebut menjadi “disposable”, sekali pakai. Padahal, tidak mustahil penerbit menerbitkan buku dari tahun ke tahun hanya dengan membolak-balikkan materi, tadinya di depan menjadi di belakang, demikian pula sebaliknya. Ya, ini kesempatan untuk mensejahterakan guru dengan minimal 40% dari harga buku masuk ke sekolah, dan tentunya dari sini pula kesejahteraan guru dapat ditingkatkan — dengan mengorbankan idealisme Wajib Belajar.

Di satu sisi, apabila kita melihat menjamurnya lembaga bimbingan belajar, maka itu adalah indikasi bahwa sebagian masyarakat telah memandang pendidikan sebagai hal utama. Tentunya ini satu indikasi positif. Namun, bagi masyarakat kelas bawah, yang menyekolahkan anak-anak mereka saja harus “senin-kemis”, itu adalah indikasi kesempatan belajar mereka semakin menipis. Persaingan ketat yang hanya berdasar intelejensia sebagai ukuran tanpa ada pertimbangan pemerataan mengakibatkan timpangnya pendidikan nasional. Lalu, apabila begini, urusan siapakah ini, sementara otonomi daerah semakin membuat sekolah berlomba untuk mengelola keuangannya menurut cara mereka sendiri dan cenderung tanpa memperhatikan elemen masyarakat miskin. Tidak ada duit, ya tidak ada bangku sekolah…

Perhatian lebih Terhadap Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Komitmen Negara akhirnya kembali dipertanyakan setelah sekian puluh tahun gaung Wajib Belajar semakin melemah, hingga kini tenggelam di tengah derunya era “kurikulum berbasis kompetensi”. Negara haruslah kembali mengambil alih beban biaya pendidikan bagi rakyat miskin. Menurut Djauzak Ahmad, mantan Direktur Pendidikan Dasar, agar pendidikan dasar kembali terjangkau adalah dengan berupaya agar kemiskinan tidak dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, kesejahteraan guru perlu diperhatikan, karena profesi guru adalah profesi khusus. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
Hal ketiga, menurut Djauzak adalah apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi. Terakhir, untuk pengelola pendidikan dan komite sekolah, tentunya harus berkoordinasi dengan sekolah agar ketentuan-ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.

Tinggalkan komentar