Jurnal Pendidikan (7)

Juni 9, 2008

Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa bagi Pangeran Al-Waleed

Universitas Brawijaya – Malang menganugerahkan penghargaan gelar Doctor Honoris Causa (Dr. HC) di bidang Management Science kepada HRH Prince Al-Waleed bin Talal bin Abdulaziz Al-Saud pada hari Senin, 3 Juni 2008. Penobatan gelar ini dilakukan di kediaman Al-Waleed di Riyadh. Penganugerahan gelar dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, Rektor Universitas Brawijaya selaku Ketua Senat Universitas, dan dihadiri oleh delegasi Senat Universitas, KADIN Indonesia, serta penjabat dari KBRI Riyadh yaitu Atase Perdagangan Drs. Sintoyo, M.A serta Atase Pendidikan dan Kebudayaan Drs. Juhdi Syarif, M.Hum.
Dalam pidatonya, Rektor Universitas Brawijaya menyatakan bahwa dalam upaya mencapai visi Universitas Brawijaya agar menjadi universitas terkemuka yang diakui secara internasional dan aktif terlibat dalam pengembangan pembangunan bangsa melalui pendidikan, riset dan pelayanan masyarakat, maka dianggap perlu Fakultas Ekonomi menganugerahkan penghargaan gelar tersebut. Hal ini layak karena Pangeran Al-Waleed dikenal sebagai tokoh muslim internasional yang bergerak di bidang bisnis dan sosial yang patut dibanggakan oleh rakyat Indonesia.
Sementara itu, dalam pidatonya, Pangeran Al-Waleed antara lain menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga atas penganugerahan gelar tersebut dan menyampaikan bahwa Indonesia dan Arab Saudi sejak waktu yang lama telah memiliki hubungan yang sangat erat dan bersejarah. Pangeran Al-Waleed juga mengungkapkan keterharuannya sebagai seorang muslim terhadap bencana tsunami yang menimpa sebagian penduduk Indonesia.
Diharapkan, penobatan gelar ini dapat meningkatkan hubungan kerjasama antara kedua negara di berbagai bidang demi kemakmuran umat manusia.

Serba-serbi (3)

Juni 9, 2008

Tingkatkan Keahlian, Pekerja Toyota/Lexus belajar Merakit Komputer

Meskipun mereka telah bekerja dengan gaji yang lumayan tinggi di Arab Saudi ini, para TKI di Toyota/Lexus masih menyempatkan diri mengembangkan ilmunya. Pada setiap akhir pekan, sekitar 26 orang pekerja Toyota/Lexus di kota Riyadh, mengikuti Pelatihan Komputer yang berlokasi di Taman Pendidikan Al Quran (TPA) Indonesia Ummul Hamam Timur.

Menurut Atin, koordinator kegiatan, kegiatan pelatihan tersebut dirancang oleh para TKI yang merasa perlu meningkatkan kemampuan mereka di bidang komputer. Meningkatnya kemampuan di bidang tersebut diharapkan akan menambah ilmu dan keterampilan serta diharapkan juga menunjang peningkatan kualitas kerja mereka.

Pelatihan yang diberikan oleh Imron Rosyadi, seorang mahasiswa S2 Teknik Elektro King Saud University, itu meliputi pelatihan instalasi perangkat keras (hardware) komputer, instalasi sistem operasi dan perangkat lunak (software), hingga menggunakan perangkat lunak perkantoran. Pelatihan direncanakan berjalan selama 4 bulan.

Diharapkan, pelatihan semacam ini juga akan semakin banyak diselenggarakan kepada para TKI di Arab Saudi ini untuk meningkatkan kemampuan mereka. Informasi tentang pelatihan ini bisa menghubungi saudara Atin (HP 0502720520)

100_2734.JPG

Artikel Utama (1)

Juni 8, 2008

Pendidikan Indonesia Tempo Doeloe

Sejarah pendidikan di Indonesia telah bermula sejak zaman dahulu kala, saat nama Indonesia belum ada. Saat itu nusantara – wilayah yang sekarang kita tempati sebagai Indonesia – telah go international di bidang pendidikan. Pada kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, saat kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian nusantara, Palembang telah menjadi pusat pendidikan agama Buddha. Banyak pengelana dari kawasan nusantara maupun Asia selatan yang berkunjung untuk belajar di sana.
Agama juga menjadi salah satu pendorong pengembangan pusat-pusat pendidikan saat Islam mulai masuk ke nusantara. Masjid dan langgar tumbuh menjadi wahana pendidikan keagamaan. Pelambagaan pendidikan juga dikembangkan dengan baik melalui berbagai pondok pesantren. Para pemuda nusantara juga telah melakukan penjelajahan ke mancanegara terutama ke Timur Tengah dalam rangka menuntut ilmu untuk kemudian menyebarkannya kembali ke tanah air.
Sedangkan pelembagaan pendidikan dengan konsep sekolah sebagaimana yang kita pahami saat ini sejarahnya baru bisa dilacak sejak penjajah Eropa terutama Belanda melalui VOC mulai mengenalkannya di abad 18. Pada masa awal VOC, sekolah biasanya didirikan sekaligus dengan gereja oleh pejabat VOC melalui perjanjian dengan para pejabat atau bupati setempat. Sekolah pada saat itu ditujukan untuk anak-anak warga Belanda dan anak-anak Indo (campuran pribumi-Belanda), serta anak-anak keturunan Asia non pribumi.
Pemerintah kolonial mulai mengatur sekolah dan mengizinkan anak pribumi untuk sekolah saat pemerintahan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Daendels. Sejak tahun 1808, ia mulai mengatur beberapa bupati di Jawa untuk membuat sekolah bagi warga pribumi dengan beberapa kurikulum termasuk di antaranya adalah tentang budaya Jawa. Daendels juga mendirikan beberapa sekolah kejuruan. Ide pendirian sekolah di negara-negara jajahan pada saat itu tampaknya muncul dari semangat “Pencerahan” yang timbul di berbagai negara Eropa pada saat itu. Ide pencerahan saat itu mengembangkan konsep dan semangat “pendidikan universal”, bahwa pendidikan adalah hak universal setiap orang.
Pada saat itu, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial terdiri dari dua macam. Pertama adalah sekolah eropa (Europeesche scholen) untuk tingkat dasar dan tingkat menengah, serta sekolah pribumi (Inlandsche scholen) yang biasanya mengggunakan bahasa daerah yang dibatasi hanya untuk tingkat dasar saja. Meskipun begitu, beberapa anak-anak pribumi dari kelas atas, seperti anak pejabat pribumi, diizinkan untuk ikut kuliah sekolah eropa.
Seiring dengan menguatnya aliran liberal di pemerintahan kolonial Belanda, ide sekolah untuk warga jajahan semakin menguat. Sejak tahun 1840-an, pemerintah kolonial mulai memassalkan sekolah untuk warga pribumi di Indonesia.Thorbecke, perdana menteri Belanda dari kubu liberal pada saat itu, misalnya memberikan komentar dengan, “It is our task, our responsibility, to enlighten the East Indies through liberal education”.
Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial pada saat itu di antaranya adalah, pertama, memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah agama, kedua, menentukan dua jenis sekolah dasar untuk warga Indonesia yaitu Sekolah Kelas Satu (untuk warga kelas atas, seperti pejabat pribumi) dan Sekolah Kelas Dua (untuk masyarakat biasa), dan ketiga mengizinkan warga Indonesia untuk dapat mengikuti sekolah dasar Eropa (ELS) yang pada asalnya ditujukan untuk anak-anak asing non Indonesia.
Meskipun begitu, secara umum, pelaksanaan pendidikan pada saat itu tidak berjalan dengan efektif dan dengan kualitas yang rendah. Pelaksanaan pendidikan dipaksakan dengan kurikulum Belanda dan guru yang didatangkan dari Belanda yang tidak relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat pribumi pada saat itu. Sekolah pendidikan guru pada saat itu pun belum menghasilkan pendidik pribumi yang mencukupi. Pendidikan di tanah jajahan semakin terpuruk saat pada tahun 1880-an pemerinta kolonial Belanda terlilit krisis finansial yang menyebabkan dilakukan pengurangan besar-besaran terhadap jumlah sekolah dan sekolah guru yang dibiayai pemerintah.
Titik balik yang penting di dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia adalah pada saat munculnya ide Politik Etis pada tahun 1899. Pada tahun tersebut, C.Th. van Deventer menerbitkan artikel “Hutang Kehormatan” yang mengenalkan slogan perbaikan tanah jajahan pada tiga hal: irigasi, transmigrasi, dan pendidikan. Tiga hal tersebut dikenal sebagai Trilogi van Deventer. Pemerintah kolonial menerima ide tersebut, dan sejak saat itu, dilakukan kembali pendirian sekolah di Indonesia oleh secara besar-besaran.
Tetapi bagaimanapun, politik etis yang dikenalkan pemerintah kolonial tetaplah merupakan ‘udang di balik batu’. Seorang Belanda sendiri, Van Kol mengatakan bahwa, “sesungguhnya tidak ada apa yang disebut politik etis di tanah jajahan, karena tujuan politik kolonial ialah eksploitasi bangsa yang terbelakang, walaupun tujuan yang sebenarnya sering disembunyikan di belakang kata-kata indah”. Sebagaimana juga Van Niel mengatakan sendiri bahwa, “in the Netherlands the vital issues of the Ethical Colonial Policy seemed to be less concerned with humanitarian and moral principles … than with financial arrangements between motherland [Dutch] and colony [Dutch Indies]” – di Belanda sendiri isu terpenting dari Politik Kolonial Etis sebenarnya tidak terkait dengan prinsip kemanusiaan dan moral,.. tetapi lebih merupaka pengaturan keuangan antara pemerintah pusat (Belanda) dengan pemerintahan di negara jajahannya”. Dari sudut pandang kolonial, pembanyakan pendidikan untuk warga pribumi sesungguhnya adalah menyediakan tenaga ahli pribumi sebanyak-banyaknya untuk menjaga kolonialisasi dengan lebih murah. Biaya melatih dan mendatangkan tenaga ahli dari Belanda ke nusantara terbukti cukup membebani keuangan pemerintah kolonial saat itu. Oleh karena itu, salah satu sekolah lanjut yang didirikan pada saat itu misalnya adalah OSVIA (Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi).
Selama tahun-tahun 1905-1907, muncul kebijakan baru dari pemerintah kolonial bahwa setiap desa bertanggung jawab untuk membangun gedung sekolah, yang mana pemerintah kolonial akan membiayai gaji guru sesuai dengan standar gaji pejabat desa. Maka muncullah jenis sekolah baru yang disebut Sekolah Desa. Tak lama kemudian, Sekolah Desa dinaikkan derajatnya menjadi setara Sekolah Kelas Dua dengan lama belajar 5 tahun. Sedangkan Sekolah Kelas Satu ditambah dengan materi bahasa Belanda sehingga masa belajar menjadi 6 tahun, dan disebut pula sebagai Sekolah Standar. Selain itu, pemerintah kolonial juga mendirikan jenis sekolah baru yang disebut HIS (Hollandsch Inlandsche School atau Sekolah Belanda untuk Warga Pribumi), dengan masa belajar 7 tahun. Sehingga seiring dengan itu, sekolah guru juga berkembang menjadi Kweekschool (untuk calon guru HIS), Normaalschool (untuk calon guru sekolah standar) dan Normaalleergang (untuk calon guru sekolah desa).
Karena belum ada pendidikan menengah, lulusan sekolah dasar dapat langsung ke pendidikan lanjut seperti sekolah pegawai atau sekolah guru. Pendidikan menengah selepas pendidikan dasar, baru muncul pada tahun 1915, dengan sebutan Vervolgschool yang terutama ditujukan kepada lulusan sekolah desa yang menginginkan pendidikan lanjut. Pada saat itu, hanya lulusan ELS, Sekolah Kelas Satu dan HIS saja yang bisa langsung melanjutkan ke pendidikan lanjut. Pendidikan lanjut pada saat itu bernama Gymnasium, HBS (Hoogere Burger School, Sekolah tinggi untuk pemuda Belanda, masa studi 5 tahun), OSVIA, dan STOVIA (School tot Opleiding voor inlandsche Artsen, Sekolah Pendidikan Calon Dokter Bumi Putera).
Pendidikan menengah kemudian ditambahkan dan dikembangkan menjadi dua yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan masa studi 3 tahun, untuk lulusan HIS dan Sekolah Kelas Satu, dan AMS (Algemeene Middelbare School) untuk lulusan MULO. Lulusan AMS dianggap setara dengan lulusan HBS, sehingga dapat mengikuti matrikulasi pada pendidikan tinggi pada saat itu.
Selain STOVIA, beberapa pendidikan tinggi yang berkembang sejak sekitar tahun 1920-an di antaranya adalah NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School – Sekolah Dokter Bumi Putera) di Surabaya, Technische Hooge School (THS – Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung (buka pada tahun 1920), Recht hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (sejak 1924), GHS (Geneeskundige Hooge School – Sekolah Kedokteran) di Batavia (sejak 1927), Faculteit de Letterenen Wijsbegeste (Sekolah Sastra di Batavia, sejak 1940) dan Landsbouwkundige Faculteit (Sekolah Tinggi Pertanian) di Bogor, sejak 1940. Kelak sekolah tinggi-sekolah tinggi tersebut yang menjadi cikal bakal dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, serta Instititut Pertanian Bogor.
Selain pendidikan dasar yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial, muncul pula pendidikan yang dikelola oleh swasta. Sebagian di antara mereka disubsidi oleh pemerintah kolonial. Beberapa sekolah swasta yang muncul adalah sekolah yang dikelola oleh misionaris Protestan dan Katolik, sekolah milik pergerakan Muhammadiyah, serta sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Taman Siswa memiliki nilai sejarah tersendiri mengingat itulah partisipasi pertama kali pribumi mengelola pendidikan dan pengajaran sendiri di luar campur tangan kolonial Belanda dan mengajarkan di dalamnya semangat/nilai perjuangan kemerdekaan. Pada masa kejayaannya, Taman Siswa pernah menjadi pusat keunggulan yang berkembang dan tumbuh dengan pesat di Jawa dan di Sumatera Timur, sehingga membuat Belanda harus mengeluarkan ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) pada Taman Siswa ini.
Meskipun pada asalnya, sekolah-sekolah kolonial didirikan dalam konsep semangat kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, sekolah-sekolah tersebut pada kurun waktu berikutnya ternyata menjadi lahan persemaian generasi baru masyarakat Indonesia yang lebih terdidik. Sebagian di antara mereka memang menjadi aparat birokrasi di pemerintah kolonial atau tenaga profesional yang sama sekali tak peduli dengan masa depan bangsa mereka. Tetapi sebagian lainnya, muncul sebagai penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan.

Jurnal Pendidikan (1)

Juni 8, 2008

Peningkatan Mutu Pendidikan di Mata Seorang Duta Besar

Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman, Dr. Salim Segaf Al-Jufrie, berkenan membuka acara Lokakarya Peningkatan Mutu Guru Sekolah Indonesia Luar Negeri se-Wilayah Timur-Tengah yang dilaksanakan pada tanggal 21 hingga 23 Mei 2008 di Jeddah. Dalam sambutannya Beliau menyampaikan bahwa salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Bahkan menurut Dr. Salim, ada yang menuduh bahwa pendidikan kita sebagai biang keladi berbagai gejala aktual ketidakberesan kehidupan dalam bernegara.

“Tuduhan ini adalah berlebihan dan tidak adil,” demikian menurut beliau.

Mengapa demikian? Bagi Dr. Salim banyak sekolah di Indonesia tengah berlomba menjadi sekolah favorit dan bermutu. Munculnya sekolah bertaraf internasional merupakan indikasi bahwa masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan yang berkualitas. Sebuah gejala yang wajar mengingat arus globalisasi yang begitu deras serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, sehingga semua membawa perubahan yang sangat besar terhadap pola dan tata-hubungan social kehidupan manusia.

Pendidikan, menurut pria lulusan Universitas Madinah ini, merupakan salah satu sektor dalam sistem sosial kehidupan manusia yang tentunya tidak terlepas dari perubahan tersebut. tuntutan sekolah bermutu merupakan konsekuensi logis fenomena kehidupan. Secara konseptual, pendidikan disebut bermutu apabila dapat memenuhi tuntutan tujuan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Untuk itulah, maka secara khusus Dr. Salim ini memberikan arahan pada seluruh guru Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) agar:

1. Memperjelas kriteria dalam rekruitmen guru baru, terutama tentang kualifikasi dan tingkat kesejahteraannya, baik guru lokal maupun guru PNS. Proses seleksi hendaknya selalu melibatkan perwakilan RI di negara akreditasi.

2. Profesionalisme guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan melalui berbagai pelatihan dan forum ilmiah secara berkala baik substansi maupun metodologi.

3. Memberi kebebasan penuh kepada sekolah untuk meningkat mutu. Oleh sebab itu diperlukan manajemen sekolah yang menerapkan prinsip manajemen secara demokratis, transparan, partisipatif, proaktif, dan akuntabel. Hal pokok yang patut diperhatikan oleh ekolah dalam menyususn rencara adalah keterbukaan pada semua pihak yang menjadi “stakeholder” pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat pada umumnya.

4. Untuk meningkatkan kemampuan keuangan harus ada sinergi antara Pembina Sekolah, Pengelola Sekolah, orangtua murid, serta masyarakat.

5. meningkatkan fungsi Komite Sekolah untuk mendukung manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Komite Sekolah harus berperan dalam merencanakan program, mamantau dan mengawasi proses kegiatan belajar-mengajar serta memberikan dukungan kepada Kepala Sekolah sebagai manajer.

6. Harus disadari bahwa sekolah Indonesia di Arab Saudi, disamping untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, juga digunakan sebagai benteng perlindungan warga.

Dr. Salim pun mengakhiri sambutannya dengan menyitir pesan dari Sayyidina Ali RA: “Didiklah anak-anakmu karena mereka diciptakan untuk zamannya di masa depan, bukan untuk zamanmu sekarang.”

Sebaiknya Anda Tahu

Juni 7, 2008

Tahukah Anda apa nama daerah terpanjang di dunia?

Jawabnya adalah Llanfairpwllgwyngyllgogerychwyrndrobwllllantysiliogogogoch

Llanfairpwllgwyngyllgogerychwyrndrobwllllantysiliogogogoch (pendeknya: Llanfairpwllgwyngyll), juga diucapkan Llanfair Pwllgwyngyll dan umumnya dikenal sebagai Llanfair PG or Llanfairpwll, merupakan sebuah desa di pulau Anglesey di Inggris, letaknya di selat Menai, sebelah Jembatan Brittania.

Populasi penduduknya ada 3.040 orang (sensus tahun 2001). Nama ini memiliki arti dalam bahasa inggris: “St Mary’s church in the hollow of the white hazel near to the rapid whirlpool and the church of St Tysilio of the red cave”. Wah susah amat ya menyebutnya…

Artikel Utama (2)

Juni 7, 2008

Wajib Belajar Disela Gemuruh Kemiskinan

Dalam skala besar, lingkup negara, maupun dalam skala kecil, lingkup keluarga, pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi tiap-tiap individu. Untuk itu, pembahasan budget/dana pendidikan dalam dua skala tersebut tidak jauh berbeda. Keluarga yang mau mengurangi jatah sandang-pangan hanya untuk anak-anaknya dapat bersekolah akan sama dengan suatu negara yang sedikit lebih banyak memfokuskan dana anggaran belanjanya di bidang pendidikan. Implikasinya, ketika masyarakat berpendidikan, tentunya kualitas hidup akan meningkat. Sebagai contoh, secara formal orang yang pandai membaca akan lebih berharga ketimbang orang yang buta huruf. Minimal mereka dapat bekerja membaca meter listrik dan melakukan pekerjaan administrasi ketimbang menjadi tukang batu. Demikian pula, lulusan SMA akan lebih dihargai ketimbang lulusan SMP. Intinya, pendidikan seseorang nantinya akan membawa “return” yang membawa kesejahteraan di masa depan. Memang, pendidikan bangsa adalah suatu investasi, bukan sesuatu yang dapat dinikmati seketika. Namun, apabila dihitung secara ekonomi, jelas-jelas pendidikan merupakan nilai investasi yang selayaknya diperhatikan.

Lemahnya Gaung Wajib Belajar

Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun serta telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Dengan program wajib belajar ini diharapkan anak-bangsa penerus generasi dapat memperoleh pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau oleh masyarakat luas. Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pendidikan terlihat nyata dengan adanya Instruksi Presiden No 10 tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar. Maka dahulu pun terkenal dengan banyak berdiri Sekolah-Dasar (SD) Inpres. Puluhan ribu gedung sekolah pun dibangun dengan puluhan ribu guru SD pun diangkat demi pemerataan kesempatan belajar.

Tak dapat dipungkiri, SD Inpres ini mampu memeratakan pendidikan dasar bagi masyarakat desa, dan gemanya tetap bergaung hingga tahun 1984, tahun ketika Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dicanangkan. Namun demikian, rupanya energi pemerintah dalam fokusnya ke bidang pendidikan berkurang, bahkan cenderung melalaikan. Pendidikan dasar pun ternyata tahun demi tahun semakin meningkat biayanya. Keputusan pihak sekolah untuk mengenakan sumbangan “sukarela” pada tiap-tiap penerimaan siswa pun telah menjadi momok bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah. Belum lagi dipicu oleh otonomi daerah, yang akhirnya semakin meroketkan sumbangan-sumbangan dengan dalih pembangunan sekolah dan kesejahteraan guru.

Belum selesai, ketika siswa telah masuk di bangku sekolah, kini pun ada usaha untuk mengikuti “kurikulum berbasis kompetensi”, sehingga sekolah dengan enaknya dapat bekerjasama dengan penerbit untuk menjual buku-buku pelajaran tiap-tiap semesternya. Dahulu, buku pelajaran dapat diwariskan pada adik kelas, kini buku tersebut menjadi “disposable”, sekali pakai. Padahal, tidak mustahil penerbit menerbitkan buku dari tahun ke tahun hanya dengan membolak-balikkan materi, tadinya di depan menjadi di belakang, demikian pula sebaliknya. Ya, ini kesempatan untuk mensejahterakan guru dengan minimal 40% dari harga buku masuk ke sekolah, dan tentunya dari sini pula kesejahteraan guru dapat ditingkatkan — dengan mengorbankan idealisme Wajib Belajar.

Di satu sisi, apabila kita melihat menjamurnya lembaga bimbingan belajar, maka itu adalah indikasi bahwa sebagian masyarakat telah memandang pendidikan sebagai hal utama. Tentunya ini satu indikasi positif. Namun, bagi masyarakat kelas bawah, yang menyekolahkan anak-anak mereka saja harus “senin-kemis”, itu adalah indikasi kesempatan belajar mereka semakin menipis. Persaingan ketat yang hanya berdasar intelejensia sebagai ukuran tanpa ada pertimbangan pemerataan mengakibatkan timpangnya pendidikan nasional. Lalu, apabila begini, urusan siapakah ini, sementara otonomi daerah semakin membuat sekolah berlomba untuk mengelola keuangannya menurut cara mereka sendiri dan cenderung tanpa memperhatikan elemen masyarakat miskin. Tidak ada duit, ya tidak ada bangku sekolah…

Perhatian lebih Terhadap Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Komitmen Negara akhirnya kembali dipertanyakan setelah sekian puluh tahun gaung Wajib Belajar semakin melemah, hingga kini tenggelam di tengah derunya era “kurikulum berbasis kompetensi”. Negara haruslah kembali mengambil alih beban biaya pendidikan bagi rakyat miskin. Menurut Djauzak Ahmad, mantan Direktur Pendidikan Dasar, agar pendidikan dasar kembali terjangkau adalah dengan berupaya agar kemiskinan tidak dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, kesejahteraan guru perlu diperhatikan, karena profesi guru adalah profesi khusus. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
Hal ketiga, menurut Djauzak adalah apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi. Terakhir, untuk pengelola pendidikan dan komite sekolah, tentunya harus berkoordinasi dengan sekolah agar ketentuan-ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.

Jurnal Pendidikan (4)

Juni 4, 2008

Melestarikan Seni Budaya Angklung melalui KPA-SIR

Adalah prakarsa Drs. Juhdi Syarif, M.Hum, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh, untuk mengenalkan angklung sekaligus menjadikan siswa SIR sebagai duta bangsa mempromosikan kesenian tradisional Indonesia. Secara khusus disampaikan bahwa pelatihan angklung ini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus melestarikan musik ini ke masyarakat Indonesia di Negara perwakilan Arab Saudi khususnya siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh, dan umumnya agar bisa dijadikan alat promosi budaya kepada masyarakat Arab Saudi terhadap jenis musik yang berasal dari bambu. Harapannya dari Siswa-siswi ini nantinya terbentuk sebuah Orchestra Angklung Sekolah Indonesia Riyadh.

Maka, dengan bantuan Mang Udjo, begitu sapaan akrab maestro angklung asal Bandung ini, siswa-siswi SIR pun berlatih angklung. Pelatihan kepada siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) dilaksanakan selama 21 hari (21 x 2 jam pelajaran), dengan peserta dari kelas 5 SD, kelas 1 dan kelas 2 SMP, serta kelas 1 dan kelas 2 SMA. Jumlah peserta tercatat sebanyak 45 siswa/i. Alhasil, kini para peserta dapat memainkan 5 buah lagu, terdiri dari lagu nasional, lagu tradisional dan lagu “barat”.

Dan ketika di akhir-akhir pengajaran Mang Udjo di SIR, peserta sedang memperdalam lagu Kebangsaan Indonesia (Indonesia Raya), lagu Nasional Arab, serta satu lagu pop Arab. Katagori lagu-lagu yang dimainkan termasuk lagu-lagu yang cukup sulit karena peserta memainkan sebuah orkestra angklung, yakni memainkan suara-satu hingga suara-tiga. Terlebih lagi dua buah lagu nasional diatas tergolong sulit untuk dimainkan mengingat keterbatasan kemampuan angklung dalam mengikuti perubahan nada yang begitu cepatnya.

Dari kunjungan redaksi PENA pada saat pelatihan berlangsung, dapat disimpulkan bahwa untuk tingkat pemahaman memainkan angklung dari siswa- siswi ini sangat baik, karena meskipun waktu pelatihan yang diberikan yang relatif singkat mereka mampu membunyikan angklung secara baik. Namun untuk proses pengahafalan tiap lagu karena karena tingkat kesulitan cukup tinggi, para peserta masih harus melakukan pengulangan-pengulangan latihan.

Adapun lagu-lagu yang telah diajarkan tersebut adalah sebagai berikut:
1. “Tanah air” Cipt: Ibu Sud.
2. Lagu Medley dari Aceh, Sunda dan Jawa .
3. “Song of Do-re-mi”
4. Padamu Negeri
5. “I have a dream” – ABBA
6. Lagu nasional Indonesia : “Indonesia Raya”
7. Lagu nasional Arab.
8. Lagu pop Arab “My ummah” (Samy yusuf).

Kepada para siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) selain diajarkan orkestrasi Angklung, para siswa pun membentuk kelompok/organisasi angklung, dengan nama “Kelompok Paduan Angklung Sekolah Indonesia Riyadh” yang disingkat KPA-SIR, dengan tujuan supaya tim angklung ini tetap berkelanjutan.

Selain itu, tidak kalah pentingnya, mereka diberi pelajaran bagaimana teknik memperbaiki dan serta menala ulang angklung apabila terjadi kerusakan karena temperatur Arab Saudi yang ekstrim.

Jurnal Pendidikan (2)

Juni 4, 2008

Sertifikasi Guru: Seberapa Pentingkah?

Seluruh jajaran guru Sekolah Indonesia Mekkah (SIM), Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) mengikuti lokakarya “Peningkatan Mutu Guru Sekolah Indonesia se-Wilayah Timur Tengah tahun 2008″ pada tanggal 21 – 23 Mei 2008. Jumlah peserta adalah 66 guru; 22 dari SIJ, 26 dari SIM, 14 dari SIR, 2 dari SI Damaskus, Syria, dan masing-masing satu guru dari SI Moskow dan SI Wassenar, Belanda. Acara ini diselenggarakan di Hotel Red Sea, Jeddah dan di Balai Nusantara KJRI-Jeddah.

Kegiatan lokakarya ini dimaksudkan untuk memperbarui semangat dan kualitas mengajar para guru. Apalagi, menurut Dr. Salim Segaf Al-Jufrie, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dan Kesultanan Oman, dalam sambutannya menyatakan bahwa di Indonesia banyak berkembang sekolah-sekolah berstandar internasional. Duta Besar pun berharap agar mutu pembelajaran di Sekolah Indonesia, khususnya di kawasan Timur Tengah tidak tertinggal apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah internasional tersebut. Masih menurut Dr. Salim, perekrutan guru baru ini harus memiliki kriteri yang jelas, serta memberikan kebebasan penuh pada sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: “maka guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Nah, bagaimana pengelola sekolah Indonesia ini mampu mengejawantahkan seluruh aspek yang tercantum pada pasal 8 undang-undang tersebut? Hal inilah yang dibahas dalam lokakarya tersebut. Berikut adalah detil dari kegiatan.

Kamis, 22 Mei 2008, kegiatan lokakarya memasuki kegiatan inti. Dimulai dengan pemaparan materi tentang “Peran PGRI dalam Sertifikasi Guru” yang disampaikan oleh Ketua Umum PGRI Bapak Prof. Dr. M. Surya. Dalam uraiannya Prof Surya menjelaskan tentang bagaimana PGRI berjuang untuk melahirkan UU untuk guru yang tujuannya selain untuk memperjelas status guru juga demi meningkatkan kesejahtraan guru. Beliau juga menguraikan tentang organisasi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) mulai dari lahirnya sampai pada kiprahnya dalam dunia pendidikan. Atas usulan peserta lokakarya, beliau juga akan segera merealisasikan keanggotaan guru-guru di sekolah Indonesia Luar negeri dalam PGRI.

Pemateri kedua disampaikan oleh Bapak Drs. E. Nurzaman AM, M.Si. yang menyajikan “Sertifikasi Guru dalam Jabatan”. Materi ini merupakan materi pokok dalam kegiatan lokakarya ini. Dalam presentasinya, Bapak Nurzaman menyampaikan tentang pedoman, tujuan, dan dasar hukum adanya sertifikasi guru. Secara lebih jelas, beliau juga menyampaikan tentang cara-cara bagaimana seorang guru dapat mengikuti sertifikasi. Beliau juga menyampaikan tentang pentingnya seorang guru memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) — dikeluarkan oleh Dirjen PMPTK ( Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) DEPDIKNAS — sebagai salah satu syarat untuk mengikuti sertifikasi. Perlu diketahui juga bahwa selama ini guru-guru di sekolah Indonesia Luar Negeri, baik PNS maupun non-PNS belum memiliki NUPTK. Untuk itu, seluruh peserta lokakarya disarankan agar segera mengisi formulir untuk memperoleh NUPTK. Dan hal ini mendapat sambutan yang sangat antusias dari seluruh peserta yang pada saat itu juga segera mengisi formulir yang sudah disiapkan.

Pemateri ketiga adalah Burhanudin Tolla, M.A. Ph.D yang menyajikan materi tentang sistem penilaian. Pada paparannya beliau menekankan tentang pentingnya penilaian sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam sebuaH lembaga pendidikan. Beliau juga menguraikan tentang fungsi penilaian dalam dunia pendidikan dan hubungan antara penilaian dengan peningkatan mutu pendidikan. Beliau juga menyampaikan beberapa contoh proses penilaian, struktur penilaian dalam pembelajaran, tujuan penilaian kompetensi, jenis instrumen penilaian, dan penilaian portofolio.

Dan sebagai pemateri terakhir adalah Drs. Dharmakirty dan Drs. Juhdi Syarif, M. Hum yang membahas materi tentang Permasalahan dan Program Pengembangan Sekolah Indonesia di KSA. Kedua pemateri di atas menyampaikan tentang beberapa permasalah yang diahadapi oleh sekolah Indonesia di lar negeri, khususnya yang ada di Arab Saudi (Jeddah, Mekkah, dan Riyadh). Di samping itu, juga disampaikan tentang beberapa strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah Indonesia Jeddah, Mekkah, dan Riyadh.
Seluruh penyajian materi di atas berlangsung dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 12.00 di Balai Nusantara KJRI Jeddah.

Setelah istirahat dan shalat dhuhur, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang membahas tentang sertifikasi guru dan sistem penilaian. Pelaksanaan diskusi berlangsung di salah satu ruang di Hotel Red Sea, Jeddah. Diskusi berlangsung sampai dengan pukul 18.30.
Setelah selesai melaksanakan shalat Magrib, sebagian peserta pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umroh.

Jumat, 23 Mei 2008 adalah hari terakhir pelaksanaan lokakarya. Pada hari ini kegiatan lokakarya adalah sidang pleno dan dilanjutkan dengan realisasi kerjasama Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) antar-sekolah se-kawasan Timur Tengah.
Salah satu hal yang disepakati dalam sidang pleno adalah bahwa setiap sekolah (SIJ, SIM, SIR) agar menyampaikan daftar nama guru lengkap dalam bentuk software dan hardware untuk dibawa oleh Bapak Nurzaman dan akan diproses agar memperoleh NUPTK.
Kegiatan lokakarya ini ditutup hari Jumat, 23 Mei 2008 pukul 11.30 oleh Bapak Drs. Dharmakirty, Pelaksana Pensosbud KJRI Jeddah.

Serba-serbi (4)

Mei 30, 2008

Drs. Hartono Sukimin, pelaksana lapangan UT wilayah Arab Saudi, beserta perangkatnya, Nur Misni, super sibuk menyiapkan acara ujian semester bagi mahasiswa UT. Rapat pun digelar dan ruang sekolah pun harus disiapkan. Ya, ujian kali ini berbeda dengan sistem ujian sebelumnya. Peraturan yang lebih ketat diberlakukan bagi mahasiswa peserta ujian. Alhasil, di bulan Mei 2008 ini ujian dapat serentak dilakukan dengan sukses di lima daerah di Arab Saudi pada tanggal 9 dan 16 Mei. Kali ini peserta ujian UT tercatat sejumlah 105 mahasiswa; Riyadh 32, Mekkah 8, Jeddah 11, Madinah 21, Khobar 18 dan Hail 11, dan Abu Dhabi – UAE 4 mahasiswa. Baginya, kesuksesan dalam pelaksanaan ujian ini merupakan karunia tersediri, karena hal ini merupakan tanggung jawab yang harus diemban demi terjaganya kualitas program Universitas Terbuka.

Menyinggung tentang jumlah mahasiswa yang dalam waktu dekat ini lulus, Guru IPA Sekolah Indonesia Riyadh ini pun menyampaikan bahwa ada 6 calon sarjana yang dalam waktu dekat ini selesai studinya, 3 dari Madinah, 1 Jeddah, serta 2 dari Riyadh, dengan program studi manajemen serta ilmu pemerintahan.

Komentar foto: Pengurus dan sebagian mahasiswa UT yang mengikuti briefing sebelum pelaksanaan ujian, berfoto untuk Buletin PENA di Sekolah Indonesia Riyadh.

Komentar foto: Suasana pelaksanaan ujian semester mahasiswa UT.

Serba-serbi (2)

Mei 30, 2008

Malam Keakraban Ala Peserta Kursus Bahasa Indonesia.

Masih ingat orang-orang Arab peserta kursus bahasa Indonesia di Sekolah Indonesia Riyadh? Ya, mereka pada tanggal 3 April 2008 menyelenggarakan malam keakraban di halaman Sekolah Indonesia Riyadh. Malam keakraban ini dimulai dari lepas shalat Isya. Ada lebih dari sepuluh siswa peserta kursus beramah-tamah dengan sejumlah guru di halaman Sekolah Indonesia Riyadh, perwakilan dari Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh, serta tiga orang mahasiswa King Saud University. Hidangan untuk obrolan santai pun tersedia, dari makanan khas Arab, korma, dan “turkish sweets” serta tidak tertinggal minuman teh dan kopi Arab. Abdul Aziz, pun telah sibuk sedari awal menyiapkan sebagian makanan yang harus dikeluarkan untuk teman minum. Sesekali forum mengomentari tayangan video yang menggambarkan indahnya alam Indonesia. “Saya pernah ke Jakarta…” atau sesekali “Saya pernah ke Bogor…” Demikian siswa kursus pun mengenang bagaimana indahnya alam Indonesia. Di mata mereka, Indonesia bukanlah negeri miskin dengan banyak TKW dan sopir, melainkan Indonesia adalah negeri indah, dengan keramahan khas masyarakat Indonesia, yang membuat hati setiap orang asing yang mengunjungi Indonesia rindu untuk kembali. Sekitar pukul sebelas malam pun acara makan malam dimulai. Hidangan khas Indonesia kini mengambil peran dan menarik perhatian orang Arab.
“Nah, yang ini pasangannya empek-empek”, Demikian disampaikan pakar empek-empek khas Palembang, Idrus Anang. Mereka pun orang arab mencicipi lezatnya menu Palembang serta sate kambing dan sate ayam yang tak kalah serunya dalam mengundang selera. “Wah asyik, di sana makan, di sini makan,” kata Abdul Latif, mahasiswa King Saud yang datang selepas pengajian bersama, tidak jauh dari lokasi sekolah. Iya, hati-hati lho… di sini banyak undangan yang potensial menggemukkan badan dengan cepat.