Archive for the ‘[5] Jurnal Pendidikan’ Category

Jurnal Pendidikan (7)

Juni 9, 2008

Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa bagi Pangeran Al-Waleed

Universitas Brawijaya – Malang menganugerahkan penghargaan gelar Doctor Honoris Causa (Dr. HC) di bidang Management Science kepada HRH Prince Al-Waleed bin Talal bin Abdulaziz Al-Saud pada hari Senin, 3 Juni 2008. Penobatan gelar ini dilakukan di kediaman Al-Waleed di Riyadh. Penganugerahan gelar dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito, Rektor Universitas Brawijaya selaku Ketua Senat Universitas, dan dihadiri oleh delegasi Senat Universitas, KADIN Indonesia, serta penjabat dari KBRI Riyadh yaitu Atase Perdagangan Drs. Sintoyo, M.A serta Atase Pendidikan dan Kebudayaan Drs. Juhdi Syarif, M.Hum.
Dalam pidatonya, Rektor Universitas Brawijaya menyatakan bahwa dalam upaya mencapai visi Universitas Brawijaya agar menjadi universitas terkemuka yang diakui secara internasional dan aktif terlibat dalam pengembangan pembangunan bangsa melalui pendidikan, riset dan pelayanan masyarakat, maka dianggap perlu Fakultas Ekonomi menganugerahkan penghargaan gelar tersebut. Hal ini layak karena Pangeran Al-Waleed dikenal sebagai tokoh muslim internasional yang bergerak di bidang bisnis dan sosial yang patut dibanggakan oleh rakyat Indonesia.
Sementara itu, dalam pidatonya, Pangeran Al-Waleed antara lain menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga atas penganugerahan gelar tersebut dan menyampaikan bahwa Indonesia dan Arab Saudi sejak waktu yang lama telah memiliki hubungan yang sangat erat dan bersejarah. Pangeran Al-Waleed juga mengungkapkan keterharuannya sebagai seorang muslim terhadap bencana tsunami yang menimpa sebagian penduduk Indonesia.
Diharapkan, penobatan gelar ini dapat meningkatkan hubungan kerjasama antara kedua negara di berbagai bidang demi kemakmuran umat manusia.

Jurnal Pendidikan (1)

Juni 8, 2008

Peningkatan Mutu Pendidikan di Mata Seorang Duta Besar

Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman, Dr. Salim Segaf Al-Jufrie, berkenan membuka acara Lokakarya Peningkatan Mutu Guru Sekolah Indonesia Luar Negeri se-Wilayah Timur-Tengah yang dilaksanakan pada tanggal 21 hingga 23 Mei 2008 di Jeddah. Dalam sambutannya Beliau menyampaikan bahwa salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Bahkan menurut Dr. Salim, ada yang menuduh bahwa pendidikan kita sebagai biang keladi berbagai gejala aktual ketidakberesan kehidupan dalam bernegara.

“Tuduhan ini adalah berlebihan dan tidak adil,” demikian menurut beliau.

Mengapa demikian? Bagi Dr. Salim banyak sekolah di Indonesia tengah berlomba menjadi sekolah favorit dan bermutu. Munculnya sekolah bertaraf internasional merupakan indikasi bahwa masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan yang berkualitas. Sebuah gejala yang wajar mengingat arus globalisasi yang begitu deras serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, sehingga semua membawa perubahan yang sangat besar terhadap pola dan tata-hubungan social kehidupan manusia.

Pendidikan, menurut pria lulusan Universitas Madinah ini, merupakan salah satu sektor dalam sistem sosial kehidupan manusia yang tentunya tidak terlepas dari perubahan tersebut. tuntutan sekolah bermutu merupakan konsekuensi logis fenomena kehidupan. Secara konseptual, pendidikan disebut bermutu apabila dapat memenuhi tuntutan tujuan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Untuk itulah, maka secara khusus Dr. Salim ini memberikan arahan pada seluruh guru Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) agar:

1. Memperjelas kriteria dalam rekruitmen guru baru, terutama tentang kualifikasi dan tingkat kesejahteraannya, baik guru lokal maupun guru PNS. Proses seleksi hendaknya selalu melibatkan perwakilan RI di negara akreditasi.

2. Profesionalisme guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan melalui berbagai pelatihan dan forum ilmiah secara berkala baik substansi maupun metodologi.

3. Memberi kebebasan penuh kepada sekolah untuk meningkat mutu. Oleh sebab itu diperlukan manajemen sekolah yang menerapkan prinsip manajemen secara demokratis, transparan, partisipatif, proaktif, dan akuntabel. Hal pokok yang patut diperhatikan oleh ekolah dalam menyususn rencara adalah keterbukaan pada semua pihak yang menjadi “stakeholder” pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat pada umumnya.

4. Untuk meningkatkan kemampuan keuangan harus ada sinergi antara Pembina Sekolah, Pengelola Sekolah, orangtua murid, serta masyarakat.

5. meningkatkan fungsi Komite Sekolah untuk mendukung manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Komite Sekolah harus berperan dalam merencanakan program, mamantau dan mengawasi proses kegiatan belajar-mengajar serta memberikan dukungan kepada Kepala Sekolah sebagai manajer.

6. Harus disadari bahwa sekolah Indonesia di Arab Saudi, disamping untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, juga digunakan sebagai benteng perlindungan warga.

Dr. Salim pun mengakhiri sambutannya dengan menyitir pesan dari Sayyidina Ali RA: “Didiklah anak-anakmu karena mereka diciptakan untuk zamannya di masa depan, bukan untuk zamanmu sekarang.”

Jurnal Pendidikan (4)

Juni 4, 2008

Melestarikan Seni Budaya Angklung melalui KPA-SIR

Adalah prakarsa Drs. Juhdi Syarif, M.Hum, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh, untuk mengenalkan angklung sekaligus menjadikan siswa SIR sebagai duta bangsa mempromosikan kesenian tradisional Indonesia. Secara khusus disampaikan bahwa pelatihan angklung ini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus melestarikan musik ini ke masyarakat Indonesia di Negara perwakilan Arab Saudi khususnya siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh, dan umumnya agar bisa dijadikan alat promosi budaya kepada masyarakat Arab Saudi terhadap jenis musik yang berasal dari bambu. Harapannya dari Siswa-siswi ini nantinya terbentuk sebuah Orchestra Angklung Sekolah Indonesia Riyadh.

Maka, dengan bantuan Mang Udjo, begitu sapaan akrab maestro angklung asal Bandung ini, siswa-siswi SIR pun berlatih angklung. Pelatihan kepada siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) dilaksanakan selama 21 hari (21 x 2 jam pelajaran), dengan peserta dari kelas 5 SD, kelas 1 dan kelas 2 SMP, serta kelas 1 dan kelas 2 SMA. Jumlah peserta tercatat sebanyak 45 siswa/i. Alhasil, kini para peserta dapat memainkan 5 buah lagu, terdiri dari lagu nasional, lagu tradisional dan lagu “barat”.

Dan ketika di akhir-akhir pengajaran Mang Udjo di SIR, peserta sedang memperdalam lagu Kebangsaan Indonesia (Indonesia Raya), lagu Nasional Arab, serta satu lagu pop Arab. Katagori lagu-lagu yang dimainkan termasuk lagu-lagu yang cukup sulit karena peserta memainkan sebuah orkestra angklung, yakni memainkan suara-satu hingga suara-tiga. Terlebih lagi dua buah lagu nasional diatas tergolong sulit untuk dimainkan mengingat keterbatasan kemampuan angklung dalam mengikuti perubahan nada yang begitu cepatnya.

Dari kunjungan redaksi PENA pada saat pelatihan berlangsung, dapat disimpulkan bahwa untuk tingkat pemahaman memainkan angklung dari siswa- siswi ini sangat baik, karena meskipun waktu pelatihan yang diberikan yang relatif singkat mereka mampu membunyikan angklung secara baik. Namun untuk proses pengahafalan tiap lagu karena karena tingkat kesulitan cukup tinggi, para peserta masih harus melakukan pengulangan-pengulangan latihan.

Adapun lagu-lagu yang telah diajarkan tersebut adalah sebagai berikut:
1. “Tanah air” Cipt: Ibu Sud.
2. Lagu Medley dari Aceh, Sunda dan Jawa .
3. “Song of Do-re-mi”
4. Padamu Negeri
5. “I have a dream” – ABBA
6. Lagu nasional Indonesia : “Indonesia Raya”
7. Lagu nasional Arab.
8. Lagu pop Arab “My ummah” (Samy yusuf).

Kepada para siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) selain diajarkan orkestrasi Angklung, para siswa pun membentuk kelompok/organisasi angklung, dengan nama “Kelompok Paduan Angklung Sekolah Indonesia Riyadh” yang disingkat KPA-SIR, dengan tujuan supaya tim angklung ini tetap berkelanjutan.

Selain itu, tidak kalah pentingnya, mereka diberi pelajaran bagaimana teknik memperbaiki dan serta menala ulang angklung apabila terjadi kerusakan karena temperatur Arab Saudi yang ekstrim.

Jurnal Pendidikan (2)

Juni 4, 2008

Sertifikasi Guru: Seberapa Pentingkah?

Seluruh jajaran guru Sekolah Indonesia Mekkah (SIM), Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) mengikuti lokakarya “Peningkatan Mutu Guru Sekolah Indonesia se-Wilayah Timur Tengah tahun 2008″ pada tanggal 21 – 23 Mei 2008. Jumlah peserta adalah 66 guru; 22 dari SIJ, 26 dari SIM, 14 dari SIR, 2 dari SI Damaskus, Syria, dan masing-masing satu guru dari SI Moskow dan SI Wassenar, Belanda. Acara ini diselenggarakan di Hotel Red Sea, Jeddah dan di Balai Nusantara KJRI-Jeddah.

Kegiatan lokakarya ini dimaksudkan untuk memperbarui semangat dan kualitas mengajar para guru. Apalagi, menurut Dr. Salim Segaf Al-Jufrie, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dan Kesultanan Oman, dalam sambutannya menyatakan bahwa di Indonesia banyak berkembang sekolah-sekolah berstandar internasional. Duta Besar pun berharap agar mutu pembelajaran di Sekolah Indonesia, khususnya di kawasan Timur Tengah tidak tertinggal apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah internasional tersebut. Masih menurut Dr. Salim, perekrutan guru baru ini harus memiliki kriteri yang jelas, serta memberikan kebebasan penuh pada sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: “maka guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Nah, bagaimana pengelola sekolah Indonesia ini mampu mengejawantahkan seluruh aspek yang tercantum pada pasal 8 undang-undang tersebut? Hal inilah yang dibahas dalam lokakarya tersebut. Berikut adalah detil dari kegiatan.

Kamis, 22 Mei 2008, kegiatan lokakarya memasuki kegiatan inti. Dimulai dengan pemaparan materi tentang “Peran PGRI dalam Sertifikasi Guru” yang disampaikan oleh Ketua Umum PGRI Bapak Prof. Dr. M. Surya. Dalam uraiannya Prof Surya menjelaskan tentang bagaimana PGRI berjuang untuk melahirkan UU untuk guru yang tujuannya selain untuk memperjelas status guru juga demi meningkatkan kesejahtraan guru. Beliau juga menguraikan tentang organisasi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) mulai dari lahirnya sampai pada kiprahnya dalam dunia pendidikan. Atas usulan peserta lokakarya, beliau juga akan segera merealisasikan keanggotaan guru-guru di sekolah Indonesia Luar negeri dalam PGRI.

Pemateri kedua disampaikan oleh Bapak Drs. E. Nurzaman AM, M.Si. yang menyajikan “Sertifikasi Guru dalam Jabatan”. Materi ini merupakan materi pokok dalam kegiatan lokakarya ini. Dalam presentasinya, Bapak Nurzaman menyampaikan tentang pedoman, tujuan, dan dasar hukum adanya sertifikasi guru. Secara lebih jelas, beliau juga menyampaikan tentang cara-cara bagaimana seorang guru dapat mengikuti sertifikasi. Beliau juga menyampaikan tentang pentingnya seorang guru memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) — dikeluarkan oleh Dirjen PMPTK ( Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) DEPDIKNAS — sebagai salah satu syarat untuk mengikuti sertifikasi. Perlu diketahui juga bahwa selama ini guru-guru di sekolah Indonesia Luar Negeri, baik PNS maupun non-PNS belum memiliki NUPTK. Untuk itu, seluruh peserta lokakarya disarankan agar segera mengisi formulir untuk memperoleh NUPTK. Dan hal ini mendapat sambutan yang sangat antusias dari seluruh peserta yang pada saat itu juga segera mengisi formulir yang sudah disiapkan.

Pemateri ketiga adalah Burhanudin Tolla, M.A. Ph.D yang menyajikan materi tentang sistem penilaian. Pada paparannya beliau menekankan tentang pentingnya penilaian sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam sebuaH lembaga pendidikan. Beliau juga menguraikan tentang fungsi penilaian dalam dunia pendidikan dan hubungan antara penilaian dengan peningkatan mutu pendidikan. Beliau juga menyampaikan beberapa contoh proses penilaian, struktur penilaian dalam pembelajaran, tujuan penilaian kompetensi, jenis instrumen penilaian, dan penilaian portofolio.

Dan sebagai pemateri terakhir adalah Drs. Dharmakirty dan Drs. Juhdi Syarif, M. Hum yang membahas materi tentang Permasalahan dan Program Pengembangan Sekolah Indonesia di KSA. Kedua pemateri di atas menyampaikan tentang beberapa permasalah yang diahadapi oleh sekolah Indonesia di lar negeri, khususnya yang ada di Arab Saudi (Jeddah, Mekkah, dan Riyadh). Di samping itu, juga disampaikan tentang beberapa strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah Indonesia Jeddah, Mekkah, dan Riyadh.
Seluruh penyajian materi di atas berlangsung dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 12.00 di Balai Nusantara KJRI Jeddah.

Setelah istirahat dan shalat dhuhur, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang membahas tentang sertifikasi guru dan sistem penilaian. Pelaksanaan diskusi berlangsung di salah satu ruang di Hotel Red Sea, Jeddah. Diskusi berlangsung sampai dengan pukul 18.30.
Setelah selesai melaksanakan shalat Magrib, sebagian peserta pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umroh.

Jumat, 23 Mei 2008 adalah hari terakhir pelaksanaan lokakarya. Pada hari ini kegiatan lokakarya adalah sidang pleno dan dilanjutkan dengan realisasi kerjasama Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) antar-sekolah se-kawasan Timur Tengah.
Salah satu hal yang disepakati dalam sidang pleno adalah bahwa setiap sekolah (SIJ, SIM, SIR) agar menyampaikan daftar nama guru lengkap dalam bentuk software dan hardware untuk dibawa oleh Bapak Nurzaman dan akan diproses agar memperoleh NUPTK.
Kegiatan lokakarya ini ditutup hari Jumat, 23 Mei 2008 pukul 11.30 oleh Bapak Drs. Dharmakirty, Pelaksana Pensosbud KJRI Jeddah.

Jurnal Pendidikan (6)

Mei 30, 2008

TKW Indonesia: Bersyukur Aku bisa Melanjutkan Sekolah

Nasib baik bagi ketiga Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau sekarang sering pula disebut Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), Wulan, Lina dan Evi. Ketiganya merupakan siswa Kelompok Belajar Paket-C. Perlu disampaikan, bahwa Kelompok Belajar Paket ini diselenggarakan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh untuk mengakomodasi mereka yang putus sekolah pendidikan formal, baik tingkat SD, SMP maupun SMA. Wulan, yang telah 4 tahun berada di Arab Saudi ini menceritakan bahwa ia mengetahui program Kejar Paket ini dari teman di Indonesia sewaktu ia pulang cuti. Merasa dorongan untuk melanjutkan belajar sangat kuat, ia pun menanyakan informasi perihal sekolah Kejar Paket ini ke KBRI. Dan gayung pun bersambut ketika harapannya untuk melanjutkan sekolah didukung oleh majikan.
Lain dengan Lina, yang “baru” dua setengah tahun di Arab Saudi, visanya bukanlah visa kerja, melainkan visa sekolah. Perlu diketahui pula, majikan Lina dan majikan Wulan adalah kakak-beradik.
Untuk itu, setiap kamis, mereka diberi kesempatan untuk belajar dari jam 8 pagi hingga jam 2 siang. Sopir majikan pun, warga Bangladesh, senantiasa mengantar mereka untuk belajar.
Ketika ditanya mengenai pembagian waktu kerja dan sekolah, Wulan menyampaikan bahwa ia merasa sulit untuk membagi waktu, karena bekerja hingga pukul 10 malam. Bahkan apabila ada tamu, bisa-bisa bekerja hingga pukul 12 malam.
“Paling Saya belajar waktu pagi, ketika majikan berangkat kerja dan anak-anak majikan sekolah,” ungkap Wulan, PLRT asal Kerawang ini. “Lagipula untuk sekolah kejar paket seperti ini tidak bisa setiap hari apabila ada kesulitan tidak bisa langsung bertanya pada guru.”
Ditanya mengenai harapan setelah sekolah Kejar Paket C, Lina menyampaikan bahwa majikan memberi peluang dua pilihan, bekerja di rumah sakit atau bekerja di kantor.
“Ya, masih belum tahu lah, yang penting belajar dulu…” ungkap Lina.
Memang tidak dapat dipungkiri, untuk pekerjaan-pekerjaan sektor formal diperlukan pula pendidikan formal. Program Kejar Paket ini merupakan satu alternatif yang dapat dipilih bagi masyarakat Indonesia yang hendak melanjutkan pendidikannya secara formal, baik yang telah putus SD, SMP maupun putus SMA. Biaya yang ditanggung pun sangat murah, hanya 50 SR perbulan. Berminat?

Jurnal Pendidikan (5)

Mei 30, 2008

Sang Motivator Itu bernama Indradjati Sidi

Dr. Ir. Indradjati Sidi, begitu nama lengkapnya. Menyempatkan diri berkunjung ke “negeri para lelaki” — Arab Saudi, diundang secara resmi oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh untuk berbicara dalam seminar di Riyadh pada tanggal 20 Maret 2008 tentang peran Mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri dalam pembangunan sekaligus sebagai asset bangsa di masa depan. Seminar yang dikunjungi oleh sebagian besar mahasiswa King Saud University dan Al-Imam Mohammad Bin Saud University menjadi menarik karena Pembicara tunggal seminar ini kaya akan pengalaman, baik semasa menjadi mahasiswa maupun semasa duduk dalam pemerintahan. Pak Indra, begitu sapaan akrabnya, menyampaikan dengan lugas bahwa mahasiswa yang memiliki kesempatan bersekolah di luar negeri merupakan asset bangsa yang sangat potensial. Asset ini, apabila dapat memanfaatkan peluang untuk membangun jaringan dan senantiasa berusaha bekerja dan terus bekerja menjadi yang terbaik, maka mereka akan dapat berperan dalam membangun Indonesia. Karena ada pula mahasiswa yang sekolah di luar negeri tidak menjadi asset bangsa, karena mereka hanya memikirkan bagaimana mereka lulus sekolah, keluarga mereka, tidak memikirkan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Disampaikan pula, ketika mantan dirjen dikdasmen Republik Indonesia ini mengambil program pascasarjana di University of Illiois, Amerika Serikat, di bidang Teknik Sipil, teman dari Taiwan yang bersekolah di tempat yang sama menyampaikan bahwa orang Indonesia itu pemalas. “Hey Indra, there is no offense, Why are Indonesian people lazy?” ungkap Indra, menirukan temannya tersebut. Bak sebuat pecut, pertanyaan ini menjadi pemacu Indra untuk menampakkan citra orang Indonesia dengan sebaik-baiknya. Semua orang di Urbana Campaign, tempat dimana University of Illinois berada, pasti melihat seorang Indra sebagai bagian dari karakter bangsa Indonesia. “Ya, kita secara tidak langsung berperan sebagai duta bangsa. Dan itu melekat pada diri kita,” ungkap Indra, “Sehingga dengan modal seperti ini kita harus tampil semaksimal mungkin.” Hal lain yang disinggung dalam pemaparannya adalah tentang tanggung jawab moral kita kepada institusi, yang mengirim kita sekolah. “Tidak ada titik balik. There is a point of no return! Harus maju… harus berhasil… harus proaktif… Mau ditaruh ke mana muka kita nanti kalau pulang tanpa hasil?” Dari sisi sumber daya manusia maupun sumber daya alam, Indonesia tidak ada masalah. Potensi laut, agrikultur, pertambangan, sangat besar. Namun, yang menjadi masalah di sini adalah bahwa orang Indonesia tidak bisa mengubah potensi yang sangat besar menjadi kinerja. Indra mencontohkan dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) yang notabene Indonesia adalah pengekspor CPO terbesar di dunia. “Coba lihat, kita hasilkan CPO, dan kita terbesar di dunia. Kita hanya jual sebagai CPO, bukan sebagai produk yang memiliki nilai lebih, seperti margarin, kosmetik dan lain-lainnya.” Demikian pula minyak bumi, Indonesia lebih senang dalam mengekspor minyak mentah, sehingga ketika minyak dunia naik, Indonesia pun dilanda kenaikan harga yang signifikan. “Hal ini terjadi karena orang Indonesia sejak awal tidak bekerja keras,” ungkap Indra menyampaikan bagaimana tipikal orang Indonesia di matanya. Dalam pembahasan keuntungan belajar di luar negeri, disampaikan Indra bahwa dampak positifnya adalah pengalaman dari sisi multikultural. “Mungkin dari segi kualitas, ada yang memiliki mutu lebih tinggi ketimbang universitas di Indonesia, ada juga yang lebih rendah. Namun pengalaman berdiskusi dengan orang asing, memahami kebudayaan orang asing, dan mengambil keputusan dalam kancah multikultural ini yang menjadi nilai lebih yang tidak akan didapatkan ketika seseorang bersekolah di Indonesia.” Indra pun berusaha mengungkap fakta sejarah, bahwa ada banyak tokoh Indonesia di tahun 1920an, seperti Mohammad Syafei yang telah mengenyam pendidikan dari Belanda, memunculkan ide-ide yang memperbaiki kondisi bangsa. Demikian pula ketika Institut Teknologi Bandung (ITB), institusi dimana dia bekerja sebagai dosen waktu itu menyampaikan bahwa di tahun 70an ITB masih sangat ortodoks. Namun, ketika banyak dosen yang diberangkatkan ke Purdue University, Ohayo University, University of Berkeley, dan lain-lainnya di bawah payung “Kentucky Contract”, di tahun 70an ITB berubah dengan pembaruan di bidang SKS, teknik pembelajaran, teknologi, dan banyak bidang lainnya. “Teman-teman lebih dari 70% merupakan alumni dari 200 institusi luar negeri, dan ini membawa suasana yang bagus,” ungkapnya. “Yang jadi menteri pun rata-rata sudah mengalami pendidikan di luar negeri.” Maka dari itu, ujarnya, potensi mahasiwa ini nantinya sangat besar. Tinggal bagaimana kita ciptakan situasi, belajar di sini namun akan kembali membangun Indonesia. Namun kata kuncinya adalah mengubah potensi menjadi kinerja, hanya dengan mengambil posisi dan bekerja keras, ketika lulus nanti, seseorang akan mampu menjadi bagian dari roda perubahan menuju Indonesia yang sejahtera. Karena hanya dengan kerja keras inilah, suatu bangsa akan maju. “Tidak ada bangsa lain yang hendak memajukan Indonesia. Bangsa Indonesia sendirilah menjadi satu-satunya bangsa yang memajukan negaranya. Tidak ada yang namanya big brother dalam cerita.” papar Indra. “Sebagai contoh, pinjaman bank dunia, atau pinjaman dari pemerintah Spanyol maupun Jepang, meski dengan nama pinjaman lunak, namun ujung-ujungnya, ternyata pinjaman tersebut hanyalah untuk menjalankan roda perekonomian negara pemberi pinjaman. Karena semua diatur oleh persyaratan yang sangat ketat, seperti belanja barang dan penggunaan tenaga kerja dari negara pemberi pinjaman. “Meski bunganya kecil, namun ketika Indonesia jadi meminjam, ada commitment fee, ketika tandatangan kontrak, ada front-end fee. Begitu pun ketika belum ada uang yang mengalir, bunga sudah berjalan karena orang kita harus bolak-balik mengirim dan memperbaiki proposal yang ditulis dalam bahasa Inggris.” Indra menyampaikan kekesalannya terhadap apa yang pernah ia alami sewaktu menjabat sebagai Dirjen Dikdasmen. Dalam akhir paparannya, Indra menyampaikan bahwa sebagai modal mahasiswa untuk sukses adalah penguasaan bahasa. Meskipun hebat dalam ilmu, ketika seseorang kesulitan dalam menyampaikannya pada orang lain, yang tampak adalah mahasiswa tersebut tidak kapabel. Demikian pula, pesannya, jadilah mahasiswa yang menjadi problem solver dan positif terhadap perubahan. Tidak kalah pentingnya, berorganisasi dan membangun jaringan pun sangat jelas perannya dalam membentuk karakter seorang pemimpin.

Jurnal Pendidikan (3)

Mei 12, 2008

Bermain Angklung: Asyik dan Menarik!

Dari ruang perpustakaan, sayup-sayup terdengar irama angklung mengalunkan lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’. Lagunya mengingatkan kita pada tahun 80an, ketika lagu ini dipakai sebagai lagu akhir dari segala acara TVRI kala itu.

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulya
Yang kupuja s’panjang masa …

Sesekali terhenti, dan beberapa kali sejumlah bait pun diulang. Ah, rupanya para guru Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) sedang berlatih angklung di malam hari. Mereka begitu bersemangat mengikuti arahan dari maestro angklung Indonesia, Bapak Sam Udjo. Ya, beliau adalah orang yang mewarisi bakat ayahanda beliau Udjo Ngalagena, pendiri Saung Angklung Udjo di tahun 1966.

Di tangan Sam Udjo, bambu yang banyak dijumpai di Indonesia telah menjadi instrumen musik yang tak kalah indahnya dengan instrumen musik moderen. Alat musik bambu ini pun di tangan beliau mampu membuat penonton tercengang karena mampu dengan sempurna melantunkan lagu Lullabye Mozart maupun symphony No.40. Ya, karena alat musik ini tidak hanya mampu mendendang irama slendro maupun pelog, namun juga dapat membangkitkan irama diatonik seperti alat-alat musik moderen pada umumnya. Dan hebatnya, angklung dengan irama diatonik ini telah dibuat sejak tahun 1938 oleh Daeng Soetigna, guru dari Udjo Ngalagena.

Angklung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan. Itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan hiburan diselang mereka bekerja di sawah dan bahkan sekelompok petani meyakini bahwa musik mereka bisa dijadikan sebagai persembahan demi kebaikan kehidupan bercocok tanam mereka.

Namun fakta yang berkembang saat ini menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda mengalami pergeseran nilai terhadap perhatian dan penghargaannya terhadap musik angklung. Terlebih justru masayakat luar negeri yang meningkatkan perhatiannya terhadap perkembangan musik angklung ini. Hal tersebut bisa dilihat pada jumlah pemerhati dan peserta pelatihan angklung di sanggar-sanggar angklung yang tersebar di daerah Bandung dan sekitarnya.

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai …

Sayup-sayup suara terdengar nyaring angklung melantunkan penggalan lain lagu karangan Ismail Marzuki ini. Proses pemilihan dan penanganan bambu yang telah mapan oleh tangan-tangan didikan Mang Udjo membuat suara yang dikeluarkan sangatlah jernih dan natural. Bambu haruslah dipilih antara usia 4 hingga 6 tahun. Dari bambu ini pun dipanen pada saat yang tepat, yaitu saat musim kemarau dan diambil siang hari, antara pukul 09.00 hingga pukul 15.00. Hal ini dimaksudkan agar bambu yang diperoleh memiliki kadar air yang minimal. Potongan-potongan bambu ini pun harus mengalami penyimpanan khusus selama setahun sebelum dibentuk, baik direndam dalam sungai atau lumpur, maupun diasapi serta dijauhkan dari rayap. Untuk penanganan yang lebih moderen, cairan kimia digunakan dalam pengawetannya.

Alhasil, Bapak Sam Udjo pun mampu berkeliling dunia dengan kecintaannya terhadap alat musik angklung ini. Lebih dari sepuluh negara telah ia kunjungi dan pertengahan April 2008 ini beliau menginjakkan kakinya di Riyadh untuk mengajar siswa dan guru SIR angklung selama satu bulan.

“Wah membunyikannya sih mudah, Cuma untuk bemain halus rasanya perlu banyak latihan,” ungkap salah seorang guru SIR disela latihan.

Menurut Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh, siswa Sekolah Indonesia yang ada di Saudi Arabia ini harus dapat menjadi duta bangsa dalam mengenalkan budaya Indonesia nan luhur kepada masyarakat Saudi Arabia ini melalui kesenian angklung.

Pengadaan perangkat angklung di SIR menurut Bapak M. Masykur Hasan, adalah karena angklung merupakan alat musik asli Indonesia, maka kita paling tidak dapat melestarikan budaya asli leluhur kita. Dan ternyata ada pula SK Depdikbud tertanggal 23 Agustus 1963 No. 082/1968 yang menetapkan bahwa angklung sebagai alat pendidikan musik di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan secara langsung ditugaskan menjadikan angklung sebagai alat pendidikan musik.

Berbisik-bisik, Raja K’lana
Memuja pulau,
yang indah permai
Tanah airku Indonesia