Archive for the ‘[3] Artikel Utama’ Category

Artikel Utama (1)

Juni 8, 2008

Pendidikan Indonesia Tempo Doeloe

Sejarah pendidikan di Indonesia telah bermula sejak zaman dahulu kala, saat nama Indonesia belum ada. Saat itu nusantara – wilayah yang sekarang kita tempati sebagai Indonesia – telah go international di bidang pendidikan. Pada kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, saat kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian nusantara, Palembang telah menjadi pusat pendidikan agama Buddha. Banyak pengelana dari kawasan nusantara maupun Asia selatan yang berkunjung untuk belajar di sana.
Agama juga menjadi salah satu pendorong pengembangan pusat-pusat pendidikan saat Islam mulai masuk ke nusantara. Masjid dan langgar tumbuh menjadi wahana pendidikan keagamaan. Pelambagaan pendidikan juga dikembangkan dengan baik melalui berbagai pondok pesantren. Para pemuda nusantara juga telah melakukan penjelajahan ke mancanegara terutama ke Timur Tengah dalam rangka menuntut ilmu untuk kemudian menyebarkannya kembali ke tanah air.
Sedangkan pelembagaan pendidikan dengan konsep sekolah sebagaimana yang kita pahami saat ini sejarahnya baru bisa dilacak sejak penjajah Eropa terutama Belanda melalui VOC mulai mengenalkannya di abad 18. Pada masa awal VOC, sekolah biasanya didirikan sekaligus dengan gereja oleh pejabat VOC melalui perjanjian dengan para pejabat atau bupati setempat. Sekolah pada saat itu ditujukan untuk anak-anak warga Belanda dan anak-anak Indo (campuran pribumi-Belanda), serta anak-anak keturunan Asia non pribumi.
Pemerintah kolonial mulai mengatur sekolah dan mengizinkan anak pribumi untuk sekolah saat pemerintahan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Daendels. Sejak tahun 1808, ia mulai mengatur beberapa bupati di Jawa untuk membuat sekolah bagi warga pribumi dengan beberapa kurikulum termasuk di antaranya adalah tentang budaya Jawa. Daendels juga mendirikan beberapa sekolah kejuruan. Ide pendirian sekolah di negara-negara jajahan pada saat itu tampaknya muncul dari semangat “Pencerahan” yang timbul di berbagai negara Eropa pada saat itu. Ide pencerahan saat itu mengembangkan konsep dan semangat “pendidikan universal”, bahwa pendidikan adalah hak universal setiap orang.
Pada saat itu, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial terdiri dari dua macam. Pertama adalah sekolah eropa (Europeesche scholen) untuk tingkat dasar dan tingkat menengah, serta sekolah pribumi (Inlandsche scholen) yang biasanya mengggunakan bahasa daerah yang dibatasi hanya untuk tingkat dasar saja. Meskipun begitu, beberapa anak-anak pribumi dari kelas atas, seperti anak pejabat pribumi, diizinkan untuk ikut kuliah sekolah eropa.
Seiring dengan menguatnya aliran liberal di pemerintahan kolonial Belanda, ide sekolah untuk warga jajahan semakin menguat. Sejak tahun 1840-an, pemerintah kolonial mulai memassalkan sekolah untuk warga pribumi di Indonesia.Thorbecke, perdana menteri Belanda dari kubu liberal pada saat itu, misalnya memberikan komentar dengan, “It is our task, our responsibility, to enlighten the East Indies through liberal education”.
Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial pada saat itu di antaranya adalah, pertama, memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah agama, kedua, menentukan dua jenis sekolah dasar untuk warga Indonesia yaitu Sekolah Kelas Satu (untuk warga kelas atas, seperti pejabat pribumi) dan Sekolah Kelas Dua (untuk masyarakat biasa), dan ketiga mengizinkan warga Indonesia untuk dapat mengikuti sekolah dasar Eropa (ELS) yang pada asalnya ditujukan untuk anak-anak asing non Indonesia.
Meskipun begitu, secara umum, pelaksanaan pendidikan pada saat itu tidak berjalan dengan efektif dan dengan kualitas yang rendah. Pelaksanaan pendidikan dipaksakan dengan kurikulum Belanda dan guru yang didatangkan dari Belanda yang tidak relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat pribumi pada saat itu. Sekolah pendidikan guru pada saat itu pun belum menghasilkan pendidik pribumi yang mencukupi. Pendidikan di tanah jajahan semakin terpuruk saat pada tahun 1880-an pemerinta kolonial Belanda terlilit krisis finansial yang menyebabkan dilakukan pengurangan besar-besaran terhadap jumlah sekolah dan sekolah guru yang dibiayai pemerintah.
Titik balik yang penting di dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia adalah pada saat munculnya ide Politik Etis pada tahun 1899. Pada tahun tersebut, C.Th. van Deventer menerbitkan artikel “Hutang Kehormatan” yang mengenalkan slogan perbaikan tanah jajahan pada tiga hal: irigasi, transmigrasi, dan pendidikan. Tiga hal tersebut dikenal sebagai Trilogi van Deventer. Pemerintah kolonial menerima ide tersebut, dan sejak saat itu, dilakukan kembali pendirian sekolah di Indonesia oleh secara besar-besaran.
Tetapi bagaimanapun, politik etis yang dikenalkan pemerintah kolonial tetaplah merupakan ‘udang di balik batu’. Seorang Belanda sendiri, Van Kol mengatakan bahwa, “sesungguhnya tidak ada apa yang disebut politik etis di tanah jajahan, karena tujuan politik kolonial ialah eksploitasi bangsa yang terbelakang, walaupun tujuan yang sebenarnya sering disembunyikan di belakang kata-kata indah”. Sebagaimana juga Van Niel mengatakan sendiri bahwa, “in the Netherlands the vital issues of the Ethical Colonial Policy seemed to be less concerned with humanitarian and moral principles … than with financial arrangements between motherland [Dutch] and colony [Dutch Indies]” – di Belanda sendiri isu terpenting dari Politik Kolonial Etis sebenarnya tidak terkait dengan prinsip kemanusiaan dan moral,.. tetapi lebih merupaka pengaturan keuangan antara pemerintah pusat (Belanda) dengan pemerintahan di negara jajahannya”. Dari sudut pandang kolonial, pembanyakan pendidikan untuk warga pribumi sesungguhnya adalah menyediakan tenaga ahli pribumi sebanyak-banyaknya untuk menjaga kolonialisasi dengan lebih murah. Biaya melatih dan mendatangkan tenaga ahli dari Belanda ke nusantara terbukti cukup membebani keuangan pemerintah kolonial saat itu. Oleh karena itu, salah satu sekolah lanjut yang didirikan pada saat itu misalnya adalah OSVIA (Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi).
Selama tahun-tahun 1905-1907, muncul kebijakan baru dari pemerintah kolonial bahwa setiap desa bertanggung jawab untuk membangun gedung sekolah, yang mana pemerintah kolonial akan membiayai gaji guru sesuai dengan standar gaji pejabat desa. Maka muncullah jenis sekolah baru yang disebut Sekolah Desa. Tak lama kemudian, Sekolah Desa dinaikkan derajatnya menjadi setara Sekolah Kelas Dua dengan lama belajar 5 tahun. Sedangkan Sekolah Kelas Satu ditambah dengan materi bahasa Belanda sehingga masa belajar menjadi 6 tahun, dan disebut pula sebagai Sekolah Standar. Selain itu, pemerintah kolonial juga mendirikan jenis sekolah baru yang disebut HIS (Hollandsch Inlandsche School atau Sekolah Belanda untuk Warga Pribumi), dengan masa belajar 7 tahun. Sehingga seiring dengan itu, sekolah guru juga berkembang menjadi Kweekschool (untuk calon guru HIS), Normaalschool (untuk calon guru sekolah standar) dan Normaalleergang (untuk calon guru sekolah desa).
Karena belum ada pendidikan menengah, lulusan sekolah dasar dapat langsung ke pendidikan lanjut seperti sekolah pegawai atau sekolah guru. Pendidikan menengah selepas pendidikan dasar, baru muncul pada tahun 1915, dengan sebutan Vervolgschool yang terutama ditujukan kepada lulusan sekolah desa yang menginginkan pendidikan lanjut. Pada saat itu, hanya lulusan ELS, Sekolah Kelas Satu dan HIS saja yang bisa langsung melanjutkan ke pendidikan lanjut. Pendidikan lanjut pada saat itu bernama Gymnasium, HBS (Hoogere Burger School, Sekolah tinggi untuk pemuda Belanda, masa studi 5 tahun), OSVIA, dan STOVIA (School tot Opleiding voor inlandsche Artsen, Sekolah Pendidikan Calon Dokter Bumi Putera).
Pendidikan menengah kemudian ditambahkan dan dikembangkan menjadi dua yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan masa studi 3 tahun, untuk lulusan HIS dan Sekolah Kelas Satu, dan AMS (Algemeene Middelbare School) untuk lulusan MULO. Lulusan AMS dianggap setara dengan lulusan HBS, sehingga dapat mengikuti matrikulasi pada pendidikan tinggi pada saat itu.
Selain STOVIA, beberapa pendidikan tinggi yang berkembang sejak sekitar tahun 1920-an di antaranya adalah NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School – Sekolah Dokter Bumi Putera) di Surabaya, Technische Hooge School (THS – Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung (buka pada tahun 1920), Recht hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (sejak 1924), GHS (Geneeskundige Hooge School – Sekolah Kedokteran) di Batavia (sejak 1927), Faculteit de Letterenen Wijsbegeste (Sekolah Sastra di Batavia, sejak 1940) dan Landsbouwkundige Faculteit (Sekolah Tinggi Pertanian) di Bogor, sejak 1940. Kelak sekolah tinggi-sekolah tinggi tersebut yang menjadi cikal bakal dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, serta Instititut Pertanian Bogor.
Selain pendidikan dasar yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial, muncul pula pendidikan yang dikelola oleh swasta. Sebagian di antara mereka disubsidi oleh pemerintah kolonial. Beberapa sekolah swasta yang muncul adalah sekolah yang dikelola oleh misionaris Protestan dan Katolik, sekolah milik pergerakan Muhammadiyah, serta sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Taman Siswa memiliki nilai sejarah tersendiri mengingat itulah partisipasi pertama kali pribumi mengelola pendidikan dan pengajaran sendiri di luar campur tangan kolonial Belanda dan mengajarkan di dalamnya semangat/nilai perjuangan kemerdekaan. Pada masa kejayaannya, Taman Siswa pernah menjadi pusat keunggulan yang berkembang dan tumbuh dengan pesat di Jawa dan di Sumatera Timur, sehingga membuat Belanda harus mengeluarkan ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) pada Taman Siswa ini.
Meskipun pada asalnya, sekolah-sekolah kolonial didirikan dalam konsep semangat kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, sekolah-sekolah tersebut pada kurun waktu berikutnya ternyata menjadi lahan persemaian generasi baru masyarakat Indonesia yang lebih terdidik. Sebagian di antara mereka memang menjadi aparat birokrasi di pemerintah kolonial atau tenaga profesional yang sama sekali tak peduli dengan masa depan bangsa mereka. Tetapi sebagian lainnya, muncul sebagai penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan.

Artikel Utama (2)

Juni 7, 2008

Wajib Belajar Disela Gemuruh Kemiskinan

Dalam skala besar, lingkup negara, maupun dalam skala kecil, lingkup keluarga, pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi tiap-tiap individu. Untuk itu, pembahasan budget/dana pendidikan dalam dua skala tersebut tidak jauh berbeda. Keluarga yang mau mengurangi jatah sandang-pangan hanya untuk anak-anaknya dapat bersekolah akan sama dengan suatu negara yang sedikit lebih banyak memfokuskan dana anggaran belanjanya di bidang pendidikan. Implikasinya, ketika masyarakat berpendidikan, tentunya kualitas hidup akan meningkat. Sebagai contoh, secara formal orang yang pandai membaca akan lebih berharga ketimbang orang yang buta huruf. Minimal mereka dapat bekerja membaca meter listrik dan melakukan pekerjaan administrasi ketimbang menjadi tukang batu. Demikian pula, lulusan SMA akan lebih dihargai ketimbang lulusan SMP. Intinya, pendidikan seseorang nantinya akan membawa “return” yang membawa kesejahteraan di masa depan. Memang, pendidikan bangsa adalah suatu investasi, bukan sesuatu yang dapat dinikmati seketika. Namun, apabila dihitung secara ekonomi, jelas-jelas pendidikan merupakan nilai investasi yang selayaknya diperhatikan.

Lemahnya Gaung Wajib Belajar

Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun serta telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Dengan program wajib belajar ini diharapkan anak-bangsa penerus generasi dapat memperoleh pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau oleh masyarakat luas. Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pendidikan terlihat nyata dengan adanya Instruksi Presiden No 10 tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar. Maka dahulu pun terkenal dengan banyak berdiri Sekolah-Dasar (SD) Inpres. Puluhan ribu gedung sekolah pun dibangun dengan puluhan ribu guru SD pun diangkat demi pemerataan kesempatan belajar.

Tak dapat dipungkiri, SD Inpres ini mampu memeratakan pendidikan dasar bagi masyarakat desa, dan gemanya tetap bergaung hingga tahun 1984, tahun ketika Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dicanangkan. Namun demikian, rupanya energi pemerintah dalam fokusnya ke bidang pendidikan berkurang, bahkan cenderung melalaikan. Pendidikan dasar pun ternyata tahun demi tahun semakin meningkat biayanya. Keputusan pihak sekolah untuk mengenakan sumbangan “sukarela” pada tiap-tiap penerimaan siswa pun telah menjadi momok bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah. Belum lagi dipicu oleh otonomi daerah, yang akhirnya semakin meroketkan sumbangan-sumbangan dengan dalih pembangunan sekolah dan kesejahteraan guru.

Belum selesai, ketika siswa telah masuk di bangku sekolah, kini pun ada usaha untuk mengikuti “kurikulum berbasis kompetensi”, sehingga sekolah dengan enaknya dapat bekerjasama dengan penerbit untuk menjual buku-buku pelajaran tiap-tiap semesternya. Dahulu, buku pelajaran dapat diwariskan pada adik kelas, kini buku tersebut menjadi “disposable”, sekali pakai. Padahal, tidak mustahil penerbit menerbitkan buku dari tahun ke tahun hanya dengan membolak-balikkan materi, tadinya di depan menjadi di belakang, demikian pula sebaliknya. Ya, ini kesempatan untuk mensejahterakan guru dengan minimal 40% dari harga buku masuk ke sekolah, dan tentunya dari sini pula kesejahteraan guru dapat ditingkatkan — dengan mengorbankan idealisme Wajib Belajar.

Di satu sisi, apabila kita melihat menjamurnya lembaga bimbingan belajar, maka itu adalah indikasi bahwa sebagian masyarakat telah memandang pendidikan sebagai hal utama. Tentunya ini satu indikasi positif. Namun, bagi masyarakat kelas bawah, yang menyekolahkan anak-anak mereka saja harus “senin-kemis”, itu adalah indikasi kesempatan belajar mereka semakin menipis. Persaingan ketat yang hanya berdasar intelejensia sebagai ukuran tanpa ada pertimbangan pemerataan mengakibatkan timpangnya pendidikan nasional. Lalu, apabila begini, urusan siapakah ini, sementara otonomi daerah semakin membuat sekolah berlomba untuk mengelola keuangannya menurut cara mereka sendiri dan cenderung tanpa memperhatikan elemen masyarakat miskin. Tidak ada duit, ya tidak ada bangku sekolah…

Perhatian lebih Terhadap Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Komitmen Negara akhirnya kembali dipertanyakan setelah sekian puluh tahun gaung Wajib Belajar semakin melemah, hingga kini tenggelam di tengah derunya era “kurikulum berbasis kompetensi”. Negara haruslah kembali mengambil alih beban biaya pendidikan bagi rakyat miskin. Menurut Djauzak Ahmad, mantan Direktur Pendidikan Dasar, agar pendidikan dasar kembali terjangkau adalah dengan berupaya agar kemiskinan tidak dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, kesejahteraan guru perlu diperhatikan, karena profesi guru adalah profesi khusus. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
Hal ketiga, menurut Djauzak adalah apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi. Terakhir, untuk pengelola pendidikan dan komite sekolah, tentunya harus berkoordinasi dengan sekolah agar ketentuan-ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.

Artikel Utama (4)

Mei 26, 2008

Menengok Dunia Pendidikan Nangroe Aceh Darussalam

Aceh, propinsi di ujung barat pulau Sumatera kini mulai bangkit setelah mengalami konflik berkepanjangan serta terjangan gelombang tsunami di tahun 2004. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah Aceh kini mulai memanfaatkan kekayaan alam serta pendapatan daerahnya dengan lebih leluasa. Menurut Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, S.Ag, terkait dengan anggaran tahun 2008, mengatakan bahwa pemerintah Aceh masih memfokuskan 30 persen anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Perencanaan pembangunan ini pun telah disosialisasikan pada masyarakat Aceh. Tak segan Pemerintah Daerah Aceh turun ke lapangan untuk menyerap aspirasi serta mensinkronkan dengan program yang dirancang secara normatif. Harapannya, hal ini akan dapat sebesar-besarnya mengakomodasi kepentingan publik yang pada gilirannya akan mempercepat pertumbuhan perekonomian daerah. Selebihnya diutamakan untuk bidang pendidikan. Karena, menurut Pria kelahiran 1973 ini, dunia pendidikan Aceh masih jauh terbelakang bila dibandingkan dengan propinsi lain, apalagi setelah pasca konflik dan tsunami.

“Di bidang pendidikan tentu di bidang umum dan dayah (pendidikan agama/pesantren), semua mendapat fasilitas pemerintah. Tahun 2008 pemerintah menganggarkan 1,5 trilyun untuk pendidikan, prioritas kedua setelah ifnrastruktur. Nilai ini menduduki 30% dari porsi APBD.” Demikian disampaikan Nazar di sela-sela acara ramah-tamah yang diselenggarakan KBRI-Riyadh pada 28 Maret 2008.

“Dan untuk pendidikan Dayah, Pemerintah Aceh menganggarkan sejumlah 177 milyar,” imbuhnya. Suatu sinyal yang baik bagi perbaikan kesejahteraan guru-guru pesantren.

Lebih jauh disampaikan bahwa di tahun 2007, Aceh telah membebaskan murid SD hingga SMTP dari SPP. Di tahun ini, direncanakan untuk membebaskan SPP hingga tingkat SLTA. Demikian pula, beasiswa untuk ke jenjang pendidikan tinggi, — S1, S2 dan S3 — akan ditingkatkan.

Dalam kurikulum pendidikan Aceh, dibenarkan untuk memasukkan kurikulum lokal, nilai-nilai agama, akhlak serta sejarah islami. Peraturan bagi seorang guru pun semakin ketat, seperti larangan merokok bagi seorang guru.

Menurut Nazar, akses terhadap pendidikan di Aceh haruslah merata. Dan Aceh mengenai hal ini di atas rata-rata nasional. Sedangkan berikutnya, yang tak kalah penting adalah kualitas. Hal ini perlu keterlibatan guru, wali, organisasi massa, tokoh masyarakat, serta Pemerintah Daerah. Semua perlu terlibat dalam perputaran roda pendidikan.

Wagub Aceh, Muhammad Nazar, S.Ag ketika berkunjung ke KBRI – Riyadh

Artikel Utama (3)

Mei 26, 2008

Peluang Integrasi Isu Perubahan Iklim ke dalam Kurikulum Pendidikan Lingkungan
Ali Imron *

Pada pertengahan tahun 2007 sampai dengan awal tahun ini, negara kita tak henti hentinya dihantam oleh bencana alam. Di pulau Jawa, saudara kita banyak mengalami kerugian akibat bencana banjir dan longsor. Di Sumatera dan Kalimantan, terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut. Awal tahun ini, terjadi banyak kebakaran di lahan gambut di provinsi Jambi dan Riau, sehingga mengakibatkan jalur transportasi terganggu, masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat karena Infeksi saluran Pernafasan Akut.

Perubahan Iklim
Fenomena banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor dan gelombang tinggi yang terjadi di pesisir jawa, sumatera dan sulawesi meyebabkan nelayan tak bisa melaut serta kebakaran hutan di lahan gambut. Faktor penyebab dari bencana alam ini adalah karena tidak bijaknya kita mengeksploitasi sumber daya alam. Perubahan iklim adalah salah satu penyebab dan akibat dari bencana ini. Kebakaran hutan di lahan gambut adalah salah satu penyumbang emisi karbon yang tinggi, hal ini saling berkaitan. Perubahan iklim yang drastis adalah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran (selain perilaku manusia yang tidak bijak) dan kebakaran berakibat pada pemanasan global secara umum yang menyebabkan perubahan iklim. Perilaku masyarakat yang kurang bijak dengan mengeksploitasi sumber daya alam antara lain adalah: illegal logging, dan pembukaan lahan untuk pertanian dengan cara di bakar secara tidak terkendali, serta penghilangan daerah-daerah resapan air menjadi lahan bangunan.

SSFFMP memfasilitasi pengimplementasian KTSP
South Sumatra Forest Fire Management Project adalah proyek pengendalian kebakaran hutan hasil kerjasama antara masyarakat Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia sejak awal kegiatan telah memfasilitasi kegiatan pendidikan lingkungan di sekolah sekolah yang terdapat di tiga kabupaten prioritas. SSFFMP sendiri memiliki modul untuk pendidikan lingkungan hidup yaitu buku Desa Ilalang yang terdiri dari Pedoman untuk murid dan pedoman untuk guru, ini merupakan kelanjutan dari project sebelumnya yaitu FFPCP.

Fasilitasi yang dilakukan SSFFMP semakin terbuka jalannya dengan adanya kurikulum 2006 atau yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP). Salah satu contoh keberhasilan fasilitasi SSFFMP berkerjasama dengan Forum Komunikasi Pendidikan Lingkungan Hidup Sumatera Selatan dalam implementasi pendidikan lingkungan hidup ke dalam sistem kurikulum 2006 adalah di SDN Trans Bayat Ilir, SDN Bayat Ilir dan SDN Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin. Ketiga sekolah tersebut telah melakukan proses pembuatan silabus pendidikan lingkungan hidup dengan berbasis sumber daya yang ada di sekitarnya dengan tujuan meningkatkan kompetensi murid dalam pencapaian keterampilan hidup. Seluruh proses identifikasi masalah, metode penyampaian dan penyusunan silabus di fasilitasi oleh SSFFMP dan FKPLH-SS dan dilakukan secara partisipatif oleh guru sekolah dasar.

Pelatihan Penyegaran Pendidikan lingkungan hidup untuk Guru Sekolah Dasar 13 desa Prioritas
Penerapan pendidikan lingkungan di sekolah prioritas perlu terus dimotivasi untuk keberlanjutan implementasinya. Untuk itu telah dilaksanakan pelatihan penyegaran untuk guru guru sekolah dasar dari tiga kabupaten prioritas yaitu kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir.Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengenalkan isu baru yaitu tentang perubahan iklim dan pemanasan global, serta memfasilitasi kegiatan aksi lingkungan dalam rangka memperingati hari bumi sedunia. Kegiatan pelatihan penyegaran ini dilaksanakan oleh SSFFMP berkerjasama dengan Forum Komunikasi Pendidikan Lingkungan Hidup – Sumatera Selatan.
Mengenalkan isu baru tentang perubahan iklim dan pemanasan global kepada para peserta pelatihan sekaligus mengenalkan beberapa langkah langkah antifsipatif dalam rangka mengurangi dampak negatifnya. Tujuan dari pelatihan ini juga untuk memperkuat komitmen para guru dalam menerapkan pendidikan lingkungan di sekolahnya. Berkaitan dengan pengenalan isu baru tentang perubahan iklim dan pemanasan global, maka dalam pelatihan ini juga dilakukan penyusunan rencana kegiatan aksi di sekolah sekolah dalam rangka memperingati hari bumi se-dunia dengan berbagai kegiatan. Peserta pelatihan yang berjumlah 22 orang dari 13 desa prioritas, merencanakan kegiatan aksi lingkungan dengan puncak kegiatannya adalah penanaman 150 pohon buah dan pohon kayu selain kegiatan menggambar, mewarnai dan puisi yang bertema lingkungan.
Untuk kabupaten Musi Bayuasin, kegiatan aksi lingkungan akan dipusatkan di SDN Bayat Ilir pada tanggal 26 April 2008, kemudian baru dilakukan di masing masing sekolah. Sedangkan kabupaten Banyuasin dan dan Ogan Komering Ilir di pusatkan di masing masing sekolah dimulai dari tanggal 22 April sampai dengan 27 April 2008.. Penanaman ini tidak terbatas hanya pada lingkungan sekolah saja, tetapi juga lebih luas yaitu lingkungan di desanya. Jumlah total bibit tanaman yang akan di tanam dalam rangka memperingati hari bumi ini adalah berjumlah 3.000 batang pohon buah dan pohon kayu di tiga kabupaten. penting dari kegiatan ini adalah mengajak anak anak dan masyarakat sekitar untuk melakukan penghijauan dalam rangka mengurangi dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global, mengurangi emisi gas buang. Dan yang paling penting adalah mengajak mereka melestarikan lingkungan sekitarnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Pengalaman para guru dalam mengimplementasikan buku Desa Ilalang di sekolahnya juga di sharing dalam pelatihan ini, ada beberapa catatan mengenai buku ini, antara lain adalah : materi dalam buku Desa Ilalang kebanyakan hanya menceritakan tentang kehidupan masyarakat di teresterial, sedangkan banyak sekolah yang berada di daerah perairan, gambar ilustrasi pendukung cerita sebaiknya berwarna agar bisa membangun imajinasi anak didik, dan penamaan tokoh sebaiknya sesuai dengan kondisi di Sumatera Selatan. Buku Desa Ilalang di ganti judulnya menjadi buku Pendidikan Lingkungan Hidup(PLH), Perubahan judul di beberapa materi, karena dianggap kurang sesuai dan tepat.
Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP) tentang perubahan iklim dan pemanasan global telah berhasil disusun selama tiga hari pelatihan oleh masing masing sekolah untuk diterapkan di tahun ajaran 2008-2009. Implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran ini masing masing sekolah berbeda, ada yang mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam untuk kelas VI dan ada yang dimasukkan ke dalam muatan lokal pendidikan lingkungan hidup. Artinya di Sumatera Selatan telah ada 13 sekolah dasar di tiga kabupaten prioritas yaitu Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir yang telah mengintegrasikan isu perubahan iklim dan pemanasan global kedalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan MULOK pendidikan lingkungan hidup.

Bisakah Isu Perubahan Iklim Dimasukkan ke dalam Kurikulum?
Jawabnya adalah Bisa, dengan beberapa syarat. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang pernah diberlakukan di Indonesia, walaupun tidak merata pada tataran pelaksanaannya. Sesungguhnya kurikulum ini sangatlah baik, tetapi yang menjadi masalah adalah tidak adanya sosialisasi ke sekolah sekolah yang terpencil, sehingga ketika kita berdiskusi dengan para pendidik tersebut mereka akan mengatakan tidak tahu bagaimana implementasi dari kurikulum yang baru ini.

Kurikulum ini memberikan kebebasan berekspresi kepada para pendidik untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. intinya adalah, kemampuan para guru berkreasi mengoptimalkan sumber daya alam dan manusianya untuk mengembangkan kompetensi para siswanya. Syarat kedua adalah kemauan dan kemampuan sekolah dalam implementasi kurikulum ini serta fasilitasi dari pihak-pihak terkait terutama pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang fokus dengan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Terbukti dengan telah adanya silabus pendidikan lingkungan hidup untuk tiga sekolah dasar di kabupaten Musi Banyuasin yaitu, SDN Trans Bayat Ilir, SDN Bayat Ilir, dan SDN Pagar Desa. Penyusunan silabus ini dilakukan secara partisipatif dan di fasilitasi oleh SSFFMP dan FKPLH-SS. Dukungan dan kerjasama dari masyarakat di sekitar sekolah juga sangat membantu lancarnya proses penyusunan dan implementasinya.

Harapan ke depan adalah dengan dimasukkannya isu perubahan iklim ke dalam kurikulum baik secara integrasi atau dalam muatan lokal akan membentuk sebuah generasi baru dalam artian bahwa pada generasi mendatang anak-anak ini akan membentuk sebuah komunitas besar yang peduli dengan lingkungannya.

Penulis tinggal di Beng Sovath Street, House No.17, Svay Dangkum Commune
Siem Reap – Cambodia