Pendidikan Indonesia Tempo Doeloe
Sejarah pendidikan di Indonesia telah bermula sejak zaman dahulu kala, saat nama Indonesia belum ada. Saat itu nusantara – wilayah yang sekarang kita tempati sebagai Indonesia – telah go international di bidang pendidikan. Pada kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, saat kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian nusantara, Palembang telah menjadi pusat pendidikan agama Buddha. Banyak pengelana dari kawasan nusantara maupun Asia selatan yang berkunjung untuk belajar di sana.
Agama juga menjadi salah satu pendorong pengembangan pusat-pusat pendidikan saat Islam mulai masuk ke nusantara. Masjid dan langgar tumbuh menjadi wahana pendidikan keagamaan. Pelambagaan pendidikan juga dikembangkan dengan baik melalui berbagai pondok pesantren. Para pemuda nusantara juga telah melakukan penjelajahan ke mancanegara terutama ke Timur Tengah dalam rangka menuntut ilmu untuk kemudian menyebarkannya kembali ke tanah air.
Sedangkan pelembagaan pendidikan dengan konsep sekolah sebagaimana yang kita pahami saat ini sejarahnya baru bisa dilacak sejak penjajah Eropa terutama Belanda melalui VOC mulai mengenalkannya di abad 18. Pada masa awal VOC, sekolah biasanya didirikan sekaligus dengan gereja oleh pejabat VOC melalui perjanjian dengan para pejabat atau bupati setempat. Sekolah pada saat itu ditujukan untuk anak-anak warga Belanda dan anak-anak Indo (campuran pribumi-Belanda), serta anak-anak keturunan Asia non pribumi.
Pemerintah kolonial mulai mengatur sekolah dan mengizinkan anak pribumi untuk sekolah saat pemerintahan dipimpin oleh Gubernur Jenderal Daendels. Sejak tahun 1808, ia mulai mengatur beberapa bupati di Jawa untuk membuat sekolah bagi warga pribumi dengan beberapa kurikulum termasuk di antaranya adalah tentang budaya Jawa. Daendels juga mendirikan beberapa sekolah kejuruan. Ide pendirian sekolah di negara-negara jajahan pada saat itu tampaknya muncul dari semangat “Pencerahan” yang timbul di berbagai negara Eropa pada saat itu. Ide pencerahan saat itu mengembangkan konsep dan semangat “pendidikan universal”, bahwa pendidikan adalah hak universal setiap orang.
Pada saat itu, sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial terdiri dari dua macam. Pertama adalah sekolah eropa (Europeesche scholen) untuk tingkat dasar dan tingkat menengah, serta sekolah pribumi (Inlandsche scholen) yang biasanya mengggunakan bahasa daerah yang dibatasi hanya untuk tingkat dasar saja. Meskipun begitu, beberapa anak-anak pribumi dari kelas atas, seperti anak pejabat pribumi, diizinkan untuk ikut kuliah sekolah eropa.
Seiring dengan menguatnya aliran liberal di pemerintahan kolonial Belanda, ide sekolah untuk warga jajahan semakin menguat. Sejak tahun 1840-an, pemerintah kolonial mulai memassalkan sekolah untuk warga pribumi di Indonesia.Thorbecke, perdana menteri Belanda dari kubu liberal pada saat itu, misalnya memberikan komentar dengan, “It is our task, our responsibility, to enlighten the East Indies through liberal education”.
Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial pada saat itu di antaranya adalah, pertama, memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah agama, kedua, menentukan dua jenis sekolah dasar untuk warga Indonesia yaitu Sekolah Kelas Satu (untuk warga kelas atas, seperti pejabat pribumi) dan Sekolah Kelas Dua (untuk masyarakat biasa), dan ketiga mengizinkan warga Indonesia untuk dapat mengikuti sekolah dasar Eropa (ELS) yang pada asalnya ditujukan untuk anak-anak asing non Indonesia.
Meskipun begitu, secara umum, pelaksanaan pendidikan pada saat itu tidak berjalan dengan efektif dan dengan kualitas yang rendah. Pelaksanaan pendidikan dipaksakan dengan kurikulum Belanda dan guru yang didatangkan dari Belanda yang tidak relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan masyarakat pribumi pada saat itu. Sekolah pendidikan guru pada saat itu pun belum menghasilkan pendidik pribumi yang mencukupi. Pendidikan di tanah jajahan semakin terpuruk saat pada tahun 1880-an pemerinta kolonial Belanda terlilit krisis finansial yang menyebabkan dilakukan pengurangan besar-besaran terhadap jumlah sekolah dan sekolah guru yang dibiayai pemerintah.
Titik balik yang penting di dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia adalah pada saat munculnya ide Politik Etis pada tahun 1899. Pada tahun tersebut, C.Th. van Deventer menerbitkan artikel “Hutang Kehormatan” yang mengenalkan slogan perbaikan tanah jajahan pada tiga hal: irigasi, transmigrasi, dan pendidikan. Tiga hal tersebut dikenal sebagai Trilogi van Deventer. Pemerintah kolonial menerima ide tersebut, dan sejak saat itu, dilakukan kembali pendirian sekolah di Indonesia oleh secara besar-besaran.
Tetapi bagaimanapun, politik etis yang dikenalkan pemerintah kolonial tetaplah merupakan ‘udang di balik batu’. Seorang Belanda sendiri, Van Kol mengatakan bahwa, “sesungguhnya tidak ada apa yang disebut politik etis di tanah jajahan, karena tujuan politik kolonial ialah eksploitasi bangsa yang terbelakang, walaupun tujuan yang sebenarnya sering disembunyikan di belakang kata-kata indah”. Sebagaimana juga Van Niel mengatakan sendiri bahwa, “in the Netherlands the vital issues of the Ethical Colonial Policy seemed to be less concerned with humanitarian and moral principles … than with financial arrangements between motherland [Dutch] and colony [Dutch Indies]” – di Belanda sendiri isu terpenting dari Politik Kolonial Etis sebenarnya tidak terkait dengan prinsip kemanusiaan dan moral,.. tetapi lebih merupaka pengaturan keuangan antara pemerintah pusat (Belanda) dengan pemerintahan di negara jajahannya”. Dari sudut pandang kolonial, pembanyakan pendidikan untuk warga pribumi sesungguhnya adalah menyediakan tenaga ahli pribumi sebanyak-banyaknya untuk menjaga kolonialisasi dengan lebih murah. Biaya melatih dan mendatangkan tenaga ahli dari Belanda ke nusantara terbukti cukup membebani keuangan pemerintah kolonial saat itu. Oleh karena itu, salah satu sekolah lanjut yang didirikan pada saat itu misalnya adalah OSVIA (Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi).
Selama tahun-tahun 1905-1907, muncul kebijakan baru dari pemerintah kolonial bahwa setiap desa bertanggung jawab untuk membangun gedung sekolah, yang mana pemerintah kolonial akan membiayai gaji guru sesuai dengan standar gaji pejabat desa. Maka muncullah jenis sekolah baru yang disebut Sekolah Desa. Tak lama kemudian, Sekolah Desa dinaikkan derajatnya menjadi setara Sekolah Kelas Dua dengan lama belajar 5 tahun. Sedangkan Sekolah Kelas Satu ditambah dengan materi bahasa Belanda sehingga masa belajar menjadi 6 tahun, dan disebut pula sebagai Sekolah Standar. Selain itu, pemerintah kolonial juga mendirikan jenis sekolah baru yang disebut HIS (Hollandsch Inlandsche School atau Sekolah Belanda untuk Warga Pribumi), dengan masa belajar 7 tahun. Sehingga seiring dengan itu, sekolah guru juga berkembang menjadi Kweekschool (untuk calon guru HIS), Normaalschool (untuk calon guru sekolah standar) dan Normaalleergang (untuk calon guru sekolah desa).
Karena belum ada pendidikan menengah, lulusan sekolah dasar dapat langsung ke pendidikan lanjut seperti sekolah pegawai atau sekolah guru. Pendidikan menengah selepas pendidikan dasar, baru muncul pada tahun 1915, dengan sebutan Vervolgschool yang terutama ditujukan kepada lulusan sekolah desa yang menginginkan pendidikan lanjut. Pada saat itu, hanya lulusan ELS, Sekolah Kelas Satu dan HIS saja yang bisa langsung melanjutkan ke pendidikan lanjut. Pendidikan lanjut pada saat itu bernama Gymnasium, HBS (Hoogere Burger School, Sekolah tinggi untuk pemuda Belanda, masa studi 5 tahun), OSVIA, dan STOVIA (School tot Opleiding voor inlandsche Artsen, Sekolah Pendidikan Calon Dokter Bumi Putera).
Pendidikan menengah kemudian ditambahkan dan dikembangkan menjadi dua yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan masa studi 3 tahun, untuk lulusan HIS dan Sekolah Kelas Satu, dan AMS (Algemeene Middelbare School) untuk lulusan MULO. Lulusan AMS dianggap setara dengan lulusan HBS, sehingga dapat mengikuti matrikulasi pada pendidikan tinggi pada saat itu.
Selain STOVIA, beberapa pendidikan tinggi yang berkembang sejak sekitar tahun 1920-an di antaranya adalah NIAS (Nerderlandsch Indische Artsen School – Sekolah Dokter Bumi Putera) di Surabaya, Technische Hooge School (THS – Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung (buka pada tahun 1920), Recht hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (sejak 1924), GHS (Geneeskundige Hooge School – Sekolah Kedokteran) di Batavia (sejak 1927), Faculteit de Letterenen Wijsbegeste (Sekolah Sastra di Batavia, sejak 1940) dan Landsbouwkundige Faculteit (Sekolah Tinggi Pertanian) di Bogor, sejak 1940. Kelak sekolah tinggi-sekolah tinggi tersebut yang menjadi cikal bakal dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, serta Instititut Pertanian Bogor.
Selain pendidikan dasar yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial, muncul pula pendidikan yang dikelola oleh swasta. Sebagian di antara mereka disubsidi oleh pemerintah kolonial. Beberapa sekolah swasta yang muncul adalah sekolah yang dikelola oleh misionaris Protestan dan Katolik, sekolah milik pergerakan Muhammadiyah, serta sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Taman Siswa memiliki nilai sejarah tersendiri mengingat itulah partisipasi pertama kali pribumi mengelola pendidikan dan pengajaran sendiri di luar campur tangan kolonial Belanda dan mengajarkan di dalamnya semangat/nilai perjuangan kemerdekaan. Pada masa kejayaannya, Taman Siswa pernah menjadi pusat keunggulan yang berkembang dan tumbuh dengan pesat di Jawa dan di Sumatera Timur, sehingga membuat Belanda harus mengeluarkan ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) pada Taman Siswa ini.
Meskipun pada asalnya, sekolah-sekolah kolonial didirikan dalam konsep semangat kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia, sekolah-sekolah tersebut pada kurun waktu berikutnya ternyata menjadi lahan persemaian generasi baru masyarakat Indonesia yang lebih terdidik. Sebagian di antara mereka memang menjadi aparat birokrasi di pemerintah kolonial atau tenaga profesional yang sama sekali tak peduli dengan masa depan bangsa mereka. Tetapi sebagian lainnya, muncul sebagai penggerak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan.