Archive for Mei, 2008

Surat Pembaca (1)

Mei 25, 2008

Assalamu alaikum wr.wb.

Hai Pena, aku pembaca barumu, dan aku mau tanya soal susu kambing, apa bagus untuk dikonsumsi dan khasiatnya apa? Selain itu apa gizinya sama dengan susu sapi? Terus bagaimana pula dengan susu Onta yang di Arab ini banyak binatang Onta bertebaran di gurun pasir? Seribu syukron atas jawabannya.

Lala – Sakaka

Wa alaikumussalam,

Saudari Lala, terimakasih telah berkenalan dengan Buletin PENA, semoga buletin ini dapat menjadi teman membaca dan sumber inspirasi. Mengenai pertanyaan tentang susu sapi, kambing dan susu onta, sebenarnya bagus juga mengulasnya. Mungkin, di penerbitan ke depan Buletin PENA dapat menampilkan rubrik ini. Mohon maaf, hingga saat ini belum ada kontributor yang membahas materi ini. Diharapkan nantinya kami dapat menjawab pertanyaan Saudari Lala dengan artikel yang berbobot.

Assalamu alaikum wr.wb.

Pena, perkenalkan saya Ardi, pembaca lamamu. Saya sebenarnya sudah lama ingin menyampaikan, apabila ada surat pembaca, mungkin lebih bagus juga dengan menampilkan foto diri (ukuran 3 x 4) misalnya. Dapatkan ini dilakukan?

M. Ardi Subkhan – 050345xxxx

Assalamu alaikum wr.wb.

Terimakasih atas pertanyaannya. Mengenai foto, sebenarnya tidak masalah apabila pembaca mengirimkan pasfoto dalam setiap kali mengirim pertanyaan. Namun, seringnya foto ini tidak dapat diakomodasi dalam format SMS. Mungkin hanya pembaca yang mengirimkan pertanyaan melalui email maupun surat pos yang dapat mengirimkan foto. Namun kebanyakan pembaca lebih mudah mengirim pertanyaan melalui SMS seperti yang Saudara Ardi lakukan.

Ilmiah Populer (1)

Mei 25, 2008

Apakah tempat Tinggal Kita Aman dari Bahaya Gempa?

Oleh: Mahmud Kori Effendi, ST, MT*

Struktur bumi sebenarnya dapat kita samakan dengan struktur telur. Kuning telurnya adalah inti, putih telurnya adalah selubung, dan cangkang telurnya adalah kerak. Lapisan Bumi terbagi atas litosfer, astenosfer, dan mesosfer
Litosfer adalah lapisan terluar bumi (tebal 100 km) dan terdiri dari kerak bumi dan bagian atas selubung. Litosfer adalah lapisan bersuhu dingin dan kaku yang dapat menahan beban permukaan yang luas misalkan gunung api. Di bawah litosfer pada kedalaman 700 km terdapat astenosfer. Astenosfer hampir berada dalam titik leburnya dan karena itu bersifat seperti fluida.
Astenosfer mengalir akibat tekanan yang terjadi sepanjang waktu. Lapisan berikutnya mesosfer. Mesosfer lebih kaku dibandingkan astenosfer namun lebih kental dibandingkan litosfer. Mesosfer terdiri dari sebagian besar selubung hingga inti bumi.
Menurut teori tektonik lempeng, permukaan bumi ini terbagi atas kira-kira 20 pecahan besar yang disebut lempeng. Ketebalannya hampir sama dengan tebal litosfer 70 km. Pertemuan antar lempeng disebut batas lempeng. Pergerakan lempeng bisa saling menjauh, saling bertumbukan, atau saling menggeser ke samping. Penyebab pergerakan ini menurut ilmuwan karena arus konveksi yaitu memindahkan panas melalui zat cair atau gas dari lapisan astenosfer.
Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi. Gempa bumi dapat disebabkan aktivitas gunung api dan runtuhan batuan yang menyebabkan gempa relatif kecil sedangkan akibat tumbukan antar lempeng dan patahan yang aktif mengakibatkan gempa sangat besar. Apabila pusat gempa terjadi di lautan atau samudra dapat menimbulkan gelombang tsunami.

Gambar 1. Peta tektonik kepulauan Indonesia, tampak zona subduksi dan sesar aktif

Satuan yang digunakan untuk mengukur kekuatan gempa adalah Skala Richter. Skala ini diperkenalkan oleh Charles F. Richter tahun 1934. Sebagai contoh, gempabumi dengan kekuatan 8 Skala Richter setara kekuatan bahan peledak TNT seberat 1 gigaton atau 1 milyar ton.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 6 LU dan 11 LS serta di antara 95 BT dan 141 BT dan terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng India Australia. Ditinjau secara geologis, kepulauan Indonesia berada pada pertemuan 2 jalur gempa utama, yaitu jalur gempa Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic.
Berdasarkan Gambar 1, berikut ini adalah 25 Daerah Wilayah Rawan Gempabumi Indonesia yaitu: Aceh, Sumatera Utara (Simeulue), Sumatera Barat -Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten Pandeglang, Jawa Barat, Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangir Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Kepala Burung-Papua Utara, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.

Gambar 2. Wilayah Gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam 6 Zona Gempa 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Pembagian dilakukan dengan memperhatikan kondisi besarnya skala gempa yang mungkin terjadi. Zona 6 adalah zona dengan skala paling besar. Di samping pembagian zona, pada peta juga diberikan garis-garis kontur koefisien zona gempa. (Gambar 2).
Perencanaan struktur gedung tahan gempa
Secara singkat perencanaan beban gempa adalah sebagai berikut:
1). Percepatan gempa desain untuk suatu bangunan di lokasi tertentu di Indonesia dapat diperoleh dengan terlebih dahulu menentukan koordinat rencana lokasi bangunan di peta dengan tujuan untuk mendapatkan koefisien zona gempa (Wilayah 1,2,3,4,5,6).
3). Tentukan nilai percepatan gempa dasar ac (g) sesuai dengan periode ulang T (tahun) yang dipersyaratkan dalam kriteria desain bangunan yang dirancang.
4). Tentukan jenis tanah/batuan di lokasi rencana bangunan
5). Hitung percepatan gempa terkoreksi.
Sedangkan analisis beban gempa terhadap gedung dapat dilakukan menggunakan analisis perhitungan seperti dibawah ini:
1. Beban gempa nominal statik ekuivalen
2. Analisis ragam spektrum respons
3. Analisis respons dinamik riwayat waktu
4. Kinerja Struktur Gedung
Penutup

Untuk menanggulangi bahaya gempa bumi yang terjadi pada rumah tempat tinggal kita, alangkah lebih baiknya kalau didesain menggunakan desain struktur tahan gempa. Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam bangunan struktur tahan gempa:

1. Gunakan pondasi menerus dengan kedalaman yang sama mengikuti panjang denah bangunan dan harus ditempatkan pada tanah keras dan tidak mengembang.
2. Hindari penempatan pondasi pada sebagian tanah keras dan sebagian tanah lunak.
3. Ikatlah secara kaku dengan balok pengikat apabila memakai pondasi setempat/umpak.
4. Pada kondisi tanah lunak dapat digunakan pondasi pelat beton atau jenis pondasi alternatif lainnya.
5. Denah bangunan gedung dan rumah sebaiknya sederhana, simetris terhadap kedua sumbu bangunan dan tidak terlalu panjang.
6. Bila dikehendaki denah bangunan gedung dan rumah yang tidak simetris, maka denah bangunan tersebut harus dipisahkan dengan alur pemisah sedemikian rupa sehingga denah bangunan merupakan rangkaian dari denah yang simetris.
7. Bila bangunan gedung dan rumah akan dibangun pada lahan perbukitan, maka lereng bukit harus dipilih yang stabil agar tidak longsor pada saat gempa bumi terjadi.
8. Disarankan menggunakan kuda-kuda baja ringan.
9. Penempatan dan pengaturan tulangan, terutama pada sambungan-sambungan harus mendapat perhatian atau pengawasan khusus. Ujung-ujung tulangan harus dijangkarkan dengan baik.

Nah, itulah kiat-kiat yang perlu diketahui dan perlu diterapkan, terutama dalam membuat bangunan baru agar aman dari bahaya gempa.

Referensi
1. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
3. Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa, Cipta Karya
4. Standar perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung SNI – 1726 – 2002, Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah
*Penulis adalah staf pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik – Universitas Negeri Semarang, dan saat ini sedang mengambil program S3 Jurusan Teknik Sipil di King Saud University

Refleksi: Kejujuran Seorang Tukang Cukur

Mei 20, 2008

A. Muttaqin *

Suatu ketika – pada suatu waktu, direncanakan aku memimpin shalat sunnah dan khatib Gerhana bulan total. Perlu ke tukang cukur, sekedar merapihkan rambut dan menjaga penampilan.

Setengah jam duduk di bangku kayu terasa begitu cepat. Selama itu pula aku mendengarkan cerita Mang Udin sambil ia memangkas rambutku. Tutur katanya halus, lugas, kadang-kadang kedengaran lucu. Mungkin karena aksen Sundanya yang masih kental. Asyik menikmati obrolannya yang polos dan lugu. Padahal seingatku, ini baru kali kedua aku mampir ke kedai cukur miliknya.

Tapi, ia mampu membangun suasana menjadi lebih akrab, seolah kami berdua telah lama kenal. Aku tak mengira, dari cerita perjalanan karirnya sebagai tukang cukur, ternyata, Bayu Sutiono pembaca liputan 6 SCTV yang terkenal itu, adalah orang yang sejak kecil ia kenal, sering dititipikan ibunya di kedai saat ibunya belanja ke pasar.

Tentu, sering ia cukur, sampai pada kisah ia menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, ATM, STNK BMW dan SIM yang ia rahasiakan temuannya itu pada rekan kerjanya juga pada isterinya sekalipun. Awalnya aku ragu, karena lelaki ini tinggi besar dan berkumis tebal. Kesanku satu; galak. Bayanganku ternyata meleset setelah mencermati obrolannya yang mengalir wajar.

“Mang, uang satu juta setengah itu, kan lumayan. Kira-kira dapet TV 21 inci loh. Kenapa dikembalikan?”. Aku mencoba merespon ceritanya yang ini. Aku merasa ceritanya memiliki kesamaan pesan dengan pengalamanku beberapa waktu lalu.

Aku mencoba menggalinya lebih jauh. Kuraba hatinya. Kudengar suara nuraninya. Apakah seorang tukang cukur seperti dirinya memiliki daya tahan yang tangguh dalam pergulatan hidup tentang benar-salah. Halal-haram atau entahlah namanya. Tujuanku satu, ingin membuktikan, bahwa kejujuran itu bisa menjadi milik siapa saja dan dapat dicampakkan oleh siapa saja. Kejujuran bukan dominasi pura ustadz, kyai, pendeta, pastor, bhiksu atau sederatan “gelar suci”keagamaan lainnya. Atau justru aku menemukan nilai-nilai sakral itu pada diri Mang Udin, tokohku kali ini.

“Untuk apa den. Enaknya sebentar, sengsaranya seumur-umur”.

“Maksud mamang?“. Aku mulai penasaran dan tertarik. Bukan lagi karena aksen Sundanya itu, tetapi ceritanya mulai menerabas ruang gelap yang dalam. Sisi paling jernih dari perangkat hidup kita. Nurani. Inilah yang aku cari.

“ Kalau saja waktu itu mamang nurutin keinginan, pasti mamang ambil. Tinggal kuras isinya. Lempar dompetnya ke kali, selasai urusan. Tapi kan, kita tahu, dosa dan kesalahan yang ada kaitannya dengan hak orang lain, tidak selesai urusannya hanya pada Gusti Allah. Mamang mah engga sanggup kalau nanti harus berurusan dengan yang punya dompet di akherat nanti”.

Aku tertegun dalam, dalaam sekali. Berhusnuzzhan pada Allah, semoga ini adalah kejernihan dan kejujuran yang bukan basa-basi. Aku mulai mengikat satu persatu pembuktianku atas pesan yang sedang dibangun Mang Udin. Mungkinkah, Mang Udin bukan tukang cukur biasa? Sedikit, perlahan dan hati-hati aku memetik buah hikmah dari setiap tuturnya. Aku melihat kilauan mutiara yang keluar dari orang yang sementara anggapanku sebagai “orang biasa” seperti kebanyakan yang lain.

Dia yang setiap hari hanya bergelut dengan mekanisme kerja gunting, pisau dan sisir itu, apakah memiliki kepekaan dan kecerdasan religi yang setara dengan para filosof dan para cendikia. Bahkan mungkin akan lebih tinggi nilainya jika hanya diukur semata-mata dari jasad fisik Mang Udin. Jika terbukti, menurut logika guru sepertiku, Mang Udin telah berhasil mengartikulasikan nilai-nilai kejujuran dengan sangat jernih dari pengalaman hidupnya tanpa retorika akademis filosofis. Sederhana, jelas, lugas dan tanpa basa-basi yang kaku dan memenjarakan akal.

Padahal di dunia kehidupan yang semakin renta ini, nilai-nilai kejujuran, kejernihan hati, kepekaan sosial sudah semakin jauh ketinggalan dengan semangat hidup individualis yang melesat cepat dengan tolok ukurnya adalah materi. Setiap tindakan selalu ditakar dengan logika dagang; untung rugi. Menolong orang selalu dilihat dengan kaca mata barter. Aku berkesimpulan, sekali lagi jika terbukti, … Mang Udin telah menjadi makhluk langka.

Aku tidak sabar memuntahkan semua keingintahuanku lebih banyak. Menurutku, Mang Udin harus “kupaksa” ngomong lagi. Baru kali ini seemur hidupku, kuliah akhlak dengan tukang cukur, makanya jangan sia-siakan dia.

“ Cambang cukur tidak?”, aku agak kaget, ah tapi bukan ini omongan yang kumaksud. Dalam benak, ternyata aku begitu hanyut sampai jauh, aku malah bergelut sendiri dengan wacana yang dinarasikan Mang Udin.

”Cukur aja deh “. Jawabku sekenanya.

“Mang, mamang kan hanya nemu di jalan. Mamang bukan mencuri atau sengaja mengambil dari kantong orang itu seperti para copet mencari nafkah “. Aku buru-buru menggiring sisa obrolannya kepada topik yang belum tuntas dikupasnya. Mudah-mudahan masih ada yang dapat kucerna dan membuat hatiku kenyang.

“Apa bedanya?”. Mang Udin balik bertanya, seolah dia telah memegang dan menebak alur fikiranku ke mana akan kuarahkan. Aku berfikir lagi, cerdas juga orang ini.

“Baik mencurinya maupun menemukannya di jalan dompet itu, toh bagi pemiliknya sama-sama kehilangan. Sama-sama dirasakan susahnya. Mengambilnya dengan sengaja, atau tidak mengembalikan kepadanya sebab menemukannya, sama-sama bikin susah orang. Tentu, kita juga akan merasakan kesusuhan jika kebetulan pemilik dompet tersebut adalah diri kita sendiri“. Waw!, semakin kukuh dugaanku, Mang Udin tidak sekedar tukang cukur.

“Lalu kenapa mamang rahasiakan, sampai-sampai isteri mamang ga pernah tahu kalau mamang pernah nemu dompet dengan isinya satu setengah juta beserta embel-embelnya?”. Mudah-mudahan aku puas mendengar jawaban terakhir dari pertanyaanku ini.

Kulihat dari cermin di depanku, Mang Udin tersenyum kecil. Wajahnya masih seperti awal dia cerita, santai.

“Den, mamang sendirian yang tahu saja, udah berat rasanya. Perang batin, antara harus mengembalikan atau diambil saja, kejujuran mamang hampir-hampir kalah. Apalagi kalo mamang cerita sama temen atau melibatkan isteri misalnya, pasti mereka akan ngasih saran yang yang macem-macam. Tambah bingung, yang ini begini, yang lain begitu. Jangan-jangan akhirnya malah nurutin keinginan mereka. Iya kalo sarannya baik, kalo malah nuntut mamang tidak jujur. Ah, ga tahu lah. Yang penting mah, mamang sudah ngembalikan. Rezeki ga ke mana”.

Aku tidak lagi terlalu tertarik bercermin untuk memperhatikan lahiriah setelah dipangkas setelah jawaban terakhir ini. Aku lebih merasa, bahwa merapihkan penampilan batin jauh lebih menentramkan hati dan membawa keberkahan hidup. Kurogoh kantung, kulunasi ongkos pangkas, dan pamit. Aku tahu, di sebelahku, sudah ada pelanggan yang juga ingin dicukur.

Aneh, aku merasa puas atas semua yang dialami Mang Udin melalui ceritanya. Aku seperti berjalan tegak menatap ke depan sambil membawa kemenangan. Lagi-lagi aku menenemukan kejujuran dari tempat yang tidak pernah kuduga. Dan lagi-lagi, kejujuran bisa menjadi milik siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Pengalaman hidup memang bagai madrasah besar yang mengajarkan banyak hal. Tentang hitam-putih, susah-senang, baik-buruk, pasang-surut dan sederet guratan taqdir yang harus kita jalani. Kurikulumya adalah rumah tangga, masyarakat dan alam sekitar. Pelakunya adalah manusia dengan berbagai profesi, karakter dan falsafah hidupnya. Tukang cukur hanyalah sebutan, guru hanyalah sebutan, jendral hanyalah sebutan. Mang Udin memang tukang cukur, tapi menurutku, ia adalah alumni madrasah besar itu yang telah berhasil menerapakan studinya tentang akhlak dan kejujuran. Yang jelas, jiwa dari kurikulum itu hanya satu, Iman.

Haturnuhun Mang Udin.

* Penulis adalah staf pengajar Madrasah Pembangunan UIN – Jakarta

Jurnal Pendidikan (3)

Mei 12, 2008

Bermain Angklung: Asyik dan Menarik!

Dari ruang perpustakaan, sayup-sayup terdengar irama angklung mengalunkan lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’. Lagunya mengingatkan kita pada tahun 80an, ketika lagu ini dipakai sebagai lagu akhir dari segala acara TVRI kala itu.

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulya
Yang kupuja s’panjang masa …

Sesekali terhenti, dan beberapa kali sejumlah bait pun diulang. Ah, rupanya para guru Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) sedang berlatih angklung di malam hari. Mereka begitu bersemangat mengikuti arahan dari maestro angklung Indonesia, Bapak Sam Udjo. Ya, beliau adalah orang yang mewarisi bakat ayahanda beliau Udjo Ngalagena, pendiri Saung Angklung Udjo di tahun 1966.

Di tangan Sam Udjo, bambu yang banyak dijumpai di Indonesia telah menjadi instrumen musik yang tak kalah indahnya dengan instrumen musik moderen. Alat musik bambu ini pun di tangan beliau mampu membuat penonton tercengang karena mampu dengan sempurna melantunkan lagu Lullabye Mozart maupun symphony No.40. Ya, karena alat musik ini tidak hanya mampu mendendang irama slendro maupun pelog, namun juga dapat membangkitkan irama diatonik seperti alat-alat musik moderen pada umumnya. Dan hebatnya, angklung dengan irama diatonik ini telah dibuat sejak tahun 1938 oleh Daeng Soetigna, guru dari Udjo Ngalagena.

Angklung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan. Itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan hiburan diselang mereka bekerja di sawah dan bahkan sekelompok petani meyakini bahwa musik mereka bisa dijadikan sebagai persembahan demi kebaikan kehidupan bercocok tanam mereka.

Namun fakta yang berkembang saat ini menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda mengalami pergeseran nilai terhadap perhatian dan penghargaannya terhadap musik angklung. Terlebih justru masayakat luar negeri yang meningkatkan perhatiannya terhadap perkembangan musik angklung ini. Hal tersebut bisa dilihat pada jumlah pemerhati dan peserta pelatihan angklung di sanggar-sanggar angklung yang tersebar di daerah Bandung dan sekitarnya.

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai …

Sayup-sayup suara terdengar nyaring angklung melantunkan penggalan lain lagu karangan Ismail Marzuki ini. Proses pemilihan dan penanganan bambu yang telah mapan oleh tangan-tangan didikan Mang Udjo membuat suara yang dikeluarkan sangatlah jernih dan natural. Bambu haruslah dipilih antara usia 4 hingga 6 tahun. Dari bambu ini pun dipanen pada saat yang tepat, yaitu saat musim kemarau dan diambil siang hari, antara pukul 09.00 hingga pukul 15.00. Hal ini dimaksudkan agar bambu yang diperoleh memiliki kadar air yang minimal. Potongan-potongan bambu ini pun harus mengalami penyimpanan khusus selama setahun sebelum dibentuk, baik direndam dalam sungai atau lumpur, maupun diasapi serta dijauhkan dari rayap. Untuk penanganan yang lebih moderen, cairan kimia digunakan dalam pengawetannya.

Alhasil, Bapak Sam Udjo pun mampu berkeliling dunia dengan kecintaannya terhadap alat musik angklung ini. Lebih dari sepuluh negara telah ia kunjungi dan pertengahan April 2008 ini beliau menginjakkan kakinya di Riyadh untuk mengajar siswa dan guru SIR angklung selama satu bulan.

“Wah membunyikannya sih mudah, Cuma untuk bemain halus rasanya perlu banyak latihan,” ungkap salah seorang guru SIR disela latihan.

Menurut Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI-Riyadh, siswa Sekolah Indonesia yang ada di Saudi Arabia ini harus dapat menjadi duta bangsa dalam mengenalkan budaya Indonesia nan luhur kepada masyarakat Saudi Arabia ini melalui kesenian angklung.

Pengadaan perangkat angklung di SIR menurut Bapak M. Masykur Hasan, adalah karena angklung merupakan alat musik asli Indonesia, maka kita paling tidak dapat melestarikan budaya asli leluhur kita. Dan ternyata ada pula SK Depdikbud tertanggal 23 Agustus 1963 No. 082/1968 yang menetapkan bahwa angklung sebagai alat pendidikan musik di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan secara langsung ditugaskan menjadikan angklung sebagai alat pendidikan musik.

Berbisik-bisik, Raja K’lana
Memuja pulau,
yang indah permai
Tanah airku Indonesia